Sejarah Asia Timur

PERKEMBANGAN KEKUASAAN SHOGUN

  1. Zaman Abad Pertengahan (Masyarakat Feodal I )
·         Periode Kamakura
Kalau sejak periode Nara dan Heian, kekuasaan pemerintahan berada di tangan Kaisar, yang kemudian di delegasikan kepada pejabat tinggi kerajaan yang kita katakan wasir dengan keluarga bangsawan lainnya, seperti pada keluarga Fujiwara, kemudian kepada keluarga Taira, maka pada periode Kamakura ini. Mulailah pemerintahan kaum samurai. Pada  tahun 1192, Minamoto–no-Yuritomo, ditunjuk oleh kaisar menjadi shogun (panglima tertinggi tentara) dan membangun  keshounanya di kamakura. Keshogunan itu tidak lain artinya daripada pemerintahan yang berpusat pada komponen militer. Dalam pemerintahan militer ini, kaum samurai diangkat sebagai polisi dan memungut pajak, dan ditempatkan pada semua distrik pada seluruh kerajaan. Karena kuatnya pengaruh kaum samurai  menyusup ke tengah masyarakat dan rakyat kebanyakan maka unsur kekuasaan dan pragmatisme menjadi lambang perilaku yang menempati pandangan umum yang tinggi. Hal itu berpengaruh sangat kepada pertumbuhan kebudayaan seperti yang akan dibicarakan nanti. Bersamaan dengan itu, kebudayaan kain Aristokrat yang berkembang pada periode Heian, berkelanjutan juga dan memberi pengaruh kepada golongan samurai yang memiliki tingkat-tingkat tinggi. Sesaat sebelum berakhirnya periode Heihan dan munculnya periode Kamakura ini, terjadilah intensivikasi reformasi keagamaan diperkenalkan tentang doktrin-doktrin yang diajarkan oleh sekte Jodo, Jodo-Shine-Shu zen dan Nichiren. Sekte Jodo-Shinsu (1224) yang setara dengan sekte-sekte Zen dan Nichiren adalah salah satu sekte Budha yang amat berpengaruh dan banyak pengikutnya. Dalam tahun 1227, Sotoshu salah satu sekte Zen yang diperkenalkan juga di Jepang. Sekte ini juga berasal dari Cina yang dibawa pulang oleh pendeta Jepang yang bermukim disana beberapa lamanya. Ketika itu negeri Cina dibawah kekuasaan dinasti Sung, yang mempunyai banyak sekali hubungan dengan Jepang. Adapun sekte Nichiren yang didirikan pada tahun 1253. Sekte ini mengajarkan bahwa manusia dapat mengalami kehidupan abadi asal percaya akan ajaran Budha, sekte ini juga banyak dianut oleh rakyat kebanyakan dan para samurai.
Walaupun pada periode ini, kekuatan fisik menjadi kecenderungan umum untuk dibangun dan di ikuti dimana-mana, namun kegiatan kebudayaan rohaniah pun mendapat tempat yang sewajarnya. Pada tahun 1205, Shin-Kokinwakashu yang ditempatkan sederajat dengan  Manyoshu dan Kokin-wakashu sebagai anthologi Jepang yang luar biasa baiknya, disempurnakan dan diterbitkan. Kemudian tahun 1219, pengaruh Minamoto mengalami kemunduran, ketika Shogunyang ketiga dari pangsa ini di kokohkan. Kaum Hojo mulai bangkit dan menempati gelanggang kekuasaan dan lebih memperkuat lagi pemerintahan kelas prajurit. Tahun 1221, terdapat usaha dari istana kaisar untuk mengambil alih kekuasaaan dari ke-Shogunan Kamakura. Tetapi usaha itu mengalami kegagalan. Sekitar waktu itu juga, cerita Heike ditulis. Menceritakan kebangkitan dan keruntuhan kaum Tiara, yang amat berpengaruh pada periode Heian.
Ketika kaum Hojo telah berada dalam kekuasaan, maka ditetapkanlah satu sistem hukum (1253) atau peraturan mengenai npenguasaan atas samuraidan sekitar waktu itu juga Kubilaikan melangsungkan dua kali penyerangan ke Jepang dengan kekuatan dua tentara Mongol. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh kekuatan Jepang yang terdiri atas samurai di bawah pemimpinan keShogunan Kamakura. Tahun 1274, satu ekspedisi besar kekuatan bangsa Mongol menyerang Kyushu. Tetapi dipukul mundul oleh tentara jepang. Yang dibantu oleh angin topan. Selanjutnya tahun 1281, satu kekuatan besar bangsa Mongol kembali menyerang Kyushutetapi itupun terpukul mundur oleh kekuatan Shogun juga berkat angin topan. Kemenangan-kemenangan ini menambah gensi kaum samurai  dan lebih memperkuat kedudukannya pada pusat kekuasaan pemerintahannya. Usaga kaisar Hodaigo pada tahun  1331, untuk mengakhiri kekuasaan kaum Jodo karena itu mengalami kegagalan . kekuatan samurai bertambah banyak mengitari baginda, dan dengan itulah akhirnya membawa kejatuhan kaum Hojo dua tahun kemudian. Dengan kejatuhan kaum Hojo maka berakhir pula keShogunan yang berpusat di Kamakura. Kembali kekuasaannya pada kaisar , sesungguhnya menjadi dambaan kaum lemah yang disokong oleh kaum agama. Pada periode keShogunan yang mementingkan kekuasaan duniawi, menjadikan kekerasan sebagai pelaksanaan kekuasaan sebaliknya kekuasaan keagamaan yang berdasarkan pada kelembutan dan keserasian yang menjadi ciri kekaisaran Jepang, menjadi minat yang besar dari kebanyakan orang bebas.
Kekuatan keshogunan yang dibangun atas kekuatan kelas prajurit samurai, mendapat dorongan kuat dari tumbuhnya kepercayaan keagamaan, salah satu sekte yang menjadi panutan rakyat dan para samurai karena sesuai dengan kodrat kehidupan waktu itu ialah sekte Budha Zen. Zen adalah satu bentuk kebudayaan atau ajaran Budha yang berasal dari India. Ajaran ini sampai ke negeri Cina pada abad pertama masehi, dan sekitar abad ke delapan berkembang dengan pesatnya di Cina. Ajaran ini pada abad ke dua belas mengambil tempat dalam kumpulan kepercayaan orang Jepang. Pokok-pokok ajaran sekte ini adalah dengan melakukan Zen, seseorang dapat mencapai penerangan atau mencapai hakekat Budha, yaitu Prajna (kebiasaan transdental) dan Karuna yaitu cinta dan keharusan. Untuk mencapai Prajna, seseorang harus menggenggam arti pentingnya hidup dan dunia. Jadi, orang yang mendapatkan penerangan, tidak terikat pada genggaman pada kepentingan pribadi. Untung atau rugi, kesenangan atau penderitaan dengan enyadari tempat karunia, itulah hasyrat yang akan membawa ke lain-lainnya kepada penerangan Zen akan membangkitkan seseorang pada Prajna, dalam dirinya sendiri. Prajna dalam bersemayam dalam dirinya sendiri. Itu hanya mungkin dengan beban avidya  (ketidak tahuan) dan karma (pembalasan) . keduanya adalah budak-budak kepandaian.
Zen menolak kepandaian, yang berupa verbalisme. Zen menolak logik atau mantik karena itu menghindari atau meniadakan setiap perbuatan konseptualisasi kata-kata itu, bukanlah benda itu sendiri. Zen menutur secara jelas pengalaman seseorang , karena itu “benda” itu sendiri yang sesungguhnya, itulah kenyataan dengan kata lain bukan abstraksi yang kosong.
Ada tiga macam jalan pengetahuan, untuk mencapai komunikasi verbal. Orang membaca atau mendengar, melakukan pengamatan, percobaan dan menganalisa setelah itu mengambil kesimpulan. Dengan itu dicapai pengetahuan, dicapai pengertian intiutif. Penganut Zen berusaha mencapai dan merangkul tiga pengetaahuan itu sekaligus, melalui pendalaman ke dalam dirinya sendiri. Itula jalan satu-satunya bagi Zen untuk menemukan pengetahuan yang sebenarnya.
Ajaran atau doktrin-doktrin Zen, telah berhubungan dengan erapnya, akrabnya dengan kehidupan samurai , sejak doktrin itu diperkenalkan di Jepang. Zen telah menopang samurai  baik secara filosofis. Secara moral, karena sebagai agama atau kepercayaan. Zen mengajarkan tidak adanya selingan sesuatu bagian dari perbuatan yang sudah dimulai. Apa yang sudah bermula harus diselesaikan sampai selesai. Tak ada masa lowong diantaranya. Secara filosofis karena Zen memandang ajarannyahidup atau mati tanpa perbedaan. Zen adalah ajaran dari kemauan dan karena Zen menolak pemikiran dan menghargai tinggi intuisi, maka Zen disenangi oleh para prajurit, para prajurit umumnya. Disiplin Zen. Sederhana saja. “langsung, percaya diri dan memenuhi kebutuhan saja.” Tradisi “Bertapa” yang dijadikan oleh sekte Zen rupa-rupanya cocok sekali dengan tabiat kaum prajurit, kaum pejuang untuk bersepi-sepi, merenungkan dirinya sendiri. 
Inilah sebagai salah satu faktor utama yang menopang kebangkitan kaum prajurit, kaum samurai . doktrin Zen kemudian diambil alih oleh sekte Hojo, dengan salah satu disiplin moral yang diajarkannya membawanya menguasai Jepang dalam periode akhir Heihan (974-1185). Ketika Tokiyori (1227-1263) dan Tokimune (1251-1284), dua tokoh pemimpin sekte Hojo, menjadi pengikut Zen, maka berkembanglah Zen keseluruh negeri.
Masalah mati memang sangat dirisaukan oleh semua yang hidup, tetapi terutama bagi prajurit yang senantiasa terancam hidupnya. Hal yang paling mendatangkan gundah-gulana. Adalah tentang keterbatasan hidup di dunia yang fana ini dan ketidak pastian sesudah itu, membawa tanggapan spekulasi yang serius. Zen menolak setiap usaha untuk mempelajari dan memikirkannya. Juga menolak latihan moral atau ritual. Doktrin ini, merupakan atraksi yang besar bagi pemikiran para samurai , untuk secara sederhana “menguasai mati”.  Pejuang memberikan dorongan kepada samurai untuk melakukan apa saja yang sudah ditetapkan sendiri. Masuk akal atau tidak masuk akal, ia harus sampai, dan dapat berbuat tanpa melihat kebelakang, sekali ia telah mengambil ketetapan.
Juga kepada samurai diajarkan, apa yang disebut dalam Zen Mushin, yaitu tidak ada pemikiran yang dapat melampaui dualitas hidup atau mati. Sikap Zen terhadap mati, mempengaruhi semua orang Jepang. Untuk mati Cuma diperlukan sikap tegaslah, beranilah, tanpa penyesalan. Inilah sikap yang sangat di hormati orang Jepang. Seseorang yang bersikap demikian akan dimaafkan atas perbuatan kriminalnya yang membawa kepada kematian. Ada pun yang terbaik Menurut doktrin ini ialah: “bagaikan bunga sakura yang gugur, sebelum angin meluruhkannya”.  Barang kali dengan itu dapat dikatakan bahwa sesungguhnya bagi orang Jepang tak ada filsafat tentang hidup yang ada ialah filsafat tentang mati.
Pedang ialah yang paling melekat pada kehidupan Samurai. Pedang menjadi simbol Layolitas dan kewaspadaan atas diri. Di dalam kehidupan dengan pedang , disana terdapat semacam obyek bimbingan universal yang didalamnya terkandung kualitas mistik. Dalam menempah sebuah pedang, para Empu pembuat pedang berusahamelibatkan bantuan dewa penyelamat. Mereka hanya akan melakukan pekerjaan itu setelah menyucikan dirinya dan menyucikan tempat kerjanya. Dia mencurahkan semua kekuatan mental, fisik dan jiwanya sampai pada batas-batas yang mungkin dicapainya. Untuk menghasilkan pedang sebai karya seni sesuatu yang mengharuskan jiwa sesuatu yang tidak dapat diartikan tidak sebagia senjata untuk  merusak, tetapi sebagai sumber inspirasi dan sumber ilham.
Seorang Samurai selalu memiliki dua pedang. Sebilah yang panjang dipakai untuk menyerang dan bertahan dan sebilah yang pendek akan digunakan menusuk dirinya sendiri bila hal itu diperlukannya. Pedang adalah lambang “harga diri” dan kehormatan yang membawa kepada ketinggian moral dan jiwa.  Jalan pembuatan dan penciptaan pedang yang demikian nilanya, adalah melaui keserasian yang disimpulkan kedalam jalan sesuai dengan ajaran doktrin Zen. Samurai  itu sudah mencapai keadaan yang disebut mushin, yaitu kosong dalam pemikiran dualisme tentang hidup dan mati.
Segala sesuatu yang menjadi ekspresi dalam kehidupan dapat dilihat dalam kehidupan kebudayaan pada umumnya. Dalam dunia kesenian umpamanya hal itu dalam memberikan kesan yang mendalam tentang pesan-pesan dan tanda-tanda zaman yang didukungnya. Semua itu terpantul dalam kebudayaan yang memperlihatkan diri pada warisan yang ditinggalkannya dan kesinambungan pesan-pesan yang menghidupkannya pada zaman yang tak berkeputusan. Doktrin-doktrin Zen pun terpantul dalam dunia kesenian Jepang. Karena doktrin Zen yang masuk ke Jepang melalui negeri Cina, maka tak hayal lagi pengaruh kesenian Cina pun terikut di dalamnya. Seorang seniman Cina melukiskan kepada murid-muridnya rahasia melukis.seniman Cina itu berkata :”lukislah bambu selama sepuluh tahun. Akan terjadi bambu itu, tetapi setelah itu lupakanlah bambu itu, bila kamu sedang melukis. Karena sekali engkau memiliki teknik yang sempurna , maka tibalah saatnya menempatkan dirimu sendiri dalam kerahiman ilham. Untuk menjadikan lukisan bambu yang sempurna, lupakanlah bambu itu walaupun engkau sudah bersatu dengannya, apabila engkau sementara melukisnya. Inilah yang disebut Zen dari bambu itu. Inilah pula yang disebut bergerak dengan irama ikatan batin yang bersemayam dalam bambu dan dalam diri pelukis itu sendiri.
Apakah yang harus dilakukan untuk memiliki kesempurnaan batin, dan belum lagi sadar akan kenyataan. Inilah yang amat berat karena membutuhkan latihan bati untuk dapat memilikinya. Orang-orang timur telah diajari sejak awal kebudayaanya untuk menata dirinya sendiri memberikan disiplin kepada dirinya sendiri. Kalau menghendaki kesempurnaan sesuatu dalam dunia kesenian dan agama. Zen mengajarkan hal itu dengan doktrin satu dalam semuadan semua dalam satu. Inilah ekspresi dari jalan intuitif. Dengan demikian Zen menggenggam dunia, tidak sebagai teori pengetahuan. Tentang satu dan semua tidak dapat digambarkan dalam analisa tak dapat dialami secara terpisah-pisah. Yang dipahami sebagai kesempurnaan dari Prajna.
Ada satu lagi ungkapan dari doktrin Zen yang paling dikenal yaitu: “Pohon-pohon hijau dan bunga-bunga merah.” Masing-masing mengambil aspek kenyataan yang perlu baginya Dan tidak lebih dari pada itu. Dapat juga dikatakan: “ bambu-bambu itu lurus dan cemara berkenyal-kenyal. Kenyataan-kenyataan dari pengalaman diterima sebagai apa adanya. Pengalaman itu kenyataan yang mutlak. Barang siapa yang mencoba menganalisa pengalaman itu dan mencoba membangun teori pengetahuan mereka itu bukanlah pengikut Zen.
Ketidak seimbangan, asimetrik, ekonomi yang serakah, wabi , sabi, penyederhanaan dan perumitan, serta semua ide yang kontadiktif itu membuat gambaran kebudayaan dan kesenian Jepang amat mencolok dan khas. Ini berasal dari tanggapan inti doktrin Zen, yang melihat suseatu itu dalam dirinya sendiri dan bersamaan dengan itu melihat yang semua, serta semua dalam satu.
Lukisan seekor burung  “kesepian” bertengger diatas setangkai dahan kering umpamanya. Tidak terdapat garis tak ada bayangan tak ada yang lain-lainnya pun yang mengerumuni, sudah cukup menggambarkan suasana musim gugur. Ketika siang menjadi singkat dan dingin, seolah alam memanggil kembali datangnya kecerahan tumbuhan musim panas. Lukisan ini membuat seseorang merasa terpekur seolah-olah tiada harapan tetapi juga menyajikan gambaran kemungkinan kewaspadaan dalam dirinya. Hidup batin, memberikan peringatan yang jelas, menembus keluar sebagai kekayaan belimpah meliputi segala penjuru. Disinilah datangnya kesadaran atas apa yang disebut wabi dalam kamus kebudayaan Jepang. Wabi adalah kekayaan rohaniah dalam kemelaratan. Dalam pemakaian sehari-hari. Kata ini berarti hidup dalam pondok kecil, kekurangan biaya hidup, bagaikan tanaman yang hampir layu, ketiadaan air. Wabi memperlihatkan cara orang Jepang berusaha menggumuli hidup inidari dalam tidak dari luar. 
Satu diantara kebijakan perasaan orang Jepang, ialah ia tidak menanggapi sesuatu itu secara logis dan secara filosofis, tetapi menyelaminya dengan intuisi kebenaran.  Itu semua diwakili secara simbolik yang gamblang dan dalam bentuk realistik. Perasaan artistik ini, mempengaruhi sifat memencilkan diri berpangsa-pangsa dari aturan konvensional. Dimana garis dan kesemrawutan, atau unsur pengimbang yang dapat diterima, disana tidak terdapat apa-apa. Disitulah terdapat kekeliruan dan perasaan yang amat bebal serta rendah dalam perasaan kesenangan. Apa yang secara normal dimiliki sebagai kekurangan nyata ialah tidak memahami sebagaimana adanya. Ketidaksempurnaan dalam dirinya terdapat bentuk kesempurnaan. Indah tidak perlu menunjukan kesempurnaan bentuk. Ini menjadi salah satu akal cerdik, yang paling digemari oleh seniman Jepang untuk menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan dalam kejelekan sekalipun. Apabila keindahan dari ketidaksempurnaan itu disertai oleh leluhur, keaslian tanpa pretensi, alamiah tanpa kesepuhan, maka kata sang seniman :”kita telah temukan, kita telah genggam sabi”. Itulah hadiah yang diberikan oleh para kritikus kesenian Jepang.
Semangat atau jiwa baru yang muncul dalam periode Kamakura ini, yaitu jiwa praktis dan kejantanan, menyatakan diri dalam rekonstruksi klenteng-klenteng Todaiji dan Ofukuji yang terbakar pada waktu perang tahun 1180. Balirung tempat patung Buddha yang besar diklenteng Todaiji. Adalah karya terbesar pada zaman itu, diselesaikan pada tahun 1195, asetelah dibangun kembali dalam tempo 20 tahun.semua ahli patung Buddha yang tinggal di Nara dan Kyoto dikerahkan untuk menyelasaikan proyek itu. Rancangan yang padat dan kokoh tersebut disebut Daibutsu-yo(Gaya Buddha yang besar) memberikan pantulan semangat kepahlawanan kepada balairung itu.
Pada waktu itu Nara hidup tiga orang pematung Buddha yang kenamaan yaitu, Unkei, Kakei dan Tankei. Mereka menikmati tingkat kebebasan seni mereka masing-masing dan meresapi semangat baru itu. Mereka memantulkan semangat baru itu ke dalam karya seni sesuai kekhususan gaya pribadi masing-masing. Karya pertama Unkei adalah patung Dainichi Nyoraidi klenteng Enjoji, yang dikerjakan pada tahun 1176. Setelah itu Enkei dan murid-muridnya menghasilkan patung Niwo di Nandai-mon (gerbang selatan) Todaichi dan Mojaku serta Seshin di klenteng Kofukuji. Semua itu merupakan beberapa hasil karya-karya mereka mengokohkan gaya Unkei yang unik dan kuat, berdasarkan prinsip-prinsip realistis dan tegas.
Adapun karya Keikei, beberapa banyak yang terkenal dapat disebut antara lain miroku-Bosatsu (patung Tuhan Shinto Hachiman).patung ini berpakaian seperti pendeta Buddha dan karya lainnya yang sangat terkenal adalah Jiso Bosatsudi Todaiji. Karya-karya ini memantulkan kelembutan dan kehalusan daya cipta Keikei yang dikuasai melaui keseimbangan antara yang realistikdengan keindahan formal.
Kecenderungan ke arah gaya realisme dalam ciptaan-ciptaan seni pada periode Kamakura, membawa kesan kedalam berbagai aspek sosial. Ia menumbuhkan apa yang adapat disebut kebudayaan deskrptif dan kebudayaan eksplanator. Yaitu kebudayaan yang memberikan kesan menerangkan atau menjelaskan. Dalam kesusastraan, kecenderungan gaya ini mengambil bentuk narrative dalam seni-lukis dalam bentuk gambar-gambar  atau lukisan potret dan lukisan gulung, semacam Cer-gam yang dilukis pada kain yang panjang dan digulung. Gaya yang ditampilkan pada lukisan potret ini menekankan pada individualitas dan bagian-bagian detail yang realistik, dengan keistimewaan perhatian pada lukisan wajah. Asal usul perkembangan lukisan potret ini mungkin sudah mulai pada saat kelahiran feodal itu sendiri.
Ke-Shogunan-nan Kamakura, berdasarkan ikatan kesetiaan antara yang dipertuan dengan para pengikutnya. Dapat dikatakan inilah model stratifikasi kelas sosial yang kaku antara yang dipertuan dengan bawahan-bawahannya. Hubungan-hubungan hiearki amat cermat diperlukan. Perkembangan lukisan potret dapat dilihat sebagai ekspresi pemenuhan keperluan dan hasrat kalangan yang dipertuankan.
Sebaliknya rakyat kebanyakan mengembangkan peningkatan kesadaran mereka sebagai manusia dan sejalan dengan itu mereka terdorong untuk menggalang persahabatan atau persaudaraan diantara sesama mereka,. Hubungan-hubungan setara antara mereka menempati model hubungan-hubungan yang terbuka. Perkembangan lukisan gulung, amat ditentukan oleh kemungkinan banyak orang yag dapat menikmatinya. Kecepatan pertumbuhan dan popularitas dapat ia nikmati oleh rakyat kebanyakan, termasuk mereka yang buta huruf.
Lukisan-lukisan gulung periode Kamakura memperlihatkan keanekaragaman yang lebih banyak, dibandingkan dengan lukisan gulung yang dihasilkan oleh periode lain sebelumnya. Isi lukisan pada umumnya, ialah cerita sejarah. Karena itu masalah agama dan perang menjadi tema yang kuat dalam seni lukis gulung ini, kedua golongan pemimpin, pemimpin agama dan pemimpin militer, menggunakan lukisan gulung  ini sebagai media masing-masing. Kaum agama hendak dilukiskan tentang sejarah sekte dan pendiri-pendirinya dan para pemimpin militer menghendaki lukisan pengorbanan semangat keperwiraan dalam langgamnya masing-masing. Keadaan itu selain meningkatkan jumlah, juga kualitas seninya. Berbagai emaki yang terkenal dari hasil periode ini seperti Kakowadera Engi, Taima Mandara Engi, Kengo-Engi dan Ippen Shonim Eden.
Pertumbuhan lukisan gulungan yang istimewa pentingnya terdapat kebersamaan dengan perkembangan sekte-sekte baru keagamaan Buddha, seperti Jodo, Hokke dan Nichiren. Sekte-sekte ini muncul ditengah-tengah keadaan kekacauan masyarakat yang terjadi pada permulaan periode Kamakura. Berbeda dengan agama Buddha pada periode Heian yang berlanggam scholastok dan aristrokatik baik dalam gaya memerintah maupun dalam orientasi kepercayaan keagamaan. Pada periode Kamakura sekte-sekte baru ini mengemukakan dasar-dasar teori baru dalam mengembangkan kepercayaannya.
Dalam lapangan politik, usaha-usaha pihak istana untuk mengembalikan kaisar pada posisi kekuasaan yang aktif sudah terjadi semenjak tahun 1221, ketika kekuasaan dan pengaruh Minamoto mengalami kemunduran. Tetapi usaha itu gagal dan Shogun Hojo, mengutamakan kedudukan ke-Shogun-an Kamakura. Tetapi kemudian dengan banyak kaum samurai  mengitari baginda, maka terdapatlah kesempatan untuk memulihkan kekuasaan kaisar. Pada tahun 1333, Kaiser Godaigo berhasil memulihkan kekuasaan istana di Kyoto mengakhiri periode Ke-Shogun-an Kamakura.
·         Periode Muromachi (1333-1573)
Keshogunan Muromachi (室町幕府 Muromachi Bakufu) atau Keshogunan Ashikaga (1336—1573) adalah pemerintahan militer oleh samurai yang didirikan Ashikaga Takauji sebagai kelanjutan dari Keshogunan Kamakura. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Muromachi selama kurang lebih 240 tahun disebut zaman Muromachi.
Shogun ke-3 Ashikaga Yoshimitsu mendirikan rumah kediaman resmi shogun yang disebut Istana Muromachi (Muromachi-dono) sehingga pemerintahan shogun klan Ashikaga disebut Keshogunan Muromachi. Nama populer untuk Istana Muromachi adalah Hana no Gosho (Istana Bunga). Sekarang ini, lokasi bekas Istana Muromachi berada di distrik Kamigyō, Kyoto.
Ashikaga Takauji mengumumkan 17 pasal Kemmu Shikimoku (Undang-undang Kemmu) sebagai kebijakan dasar pemerintahan pada bulan November tahun 1336. Peristiwa tersebut menandai berdirinya Keshogunan Muromachi. Walaupun demikian, pendapat yang berbeda mengatakan bahwa Keshogunan Muromachi dimulai sejak Ashikaga Takauji dilantik sebagai Sei-i Taishōgun oleh Kaisar Kōmyō dari Istana Utara pada tahun 1338.
Pada awalnya Kaisar Gadaigo, setelah berhasil memuluhkan kekuasaan aktif Istana, Baginda berusaha keras memperbaiki pemerintahan kekaisaran dan menggiatkanya kembali. Tetapi baru kurang lebih dua tahun Baginda giat dengan dengan usahanya itu, dalam tahun 1335, mulailah timbul kegoncangan – kegoncangan politik, dengan bangkitnya kaum Aishikaga, menentang kekuasaan kaiser. Karena kekacauan politik itu maka dalam istana sendiri terjadi usaha – usaha perebutan kekuasaan. Walaupun Kaiser Godaigo masih tetap diatas tahta, namun satu cabang keluaga Kaiser itu Kamyo, mempermaklumkan dirinya menjadi Kaiser juga.
Kekacauan di Kyoto menjadi lebih meningkat. Kaiser Godaigo memindahkan pusat pemerintahanya kebagian selatan pada satu tempat yang bernama Yoshino (daerah Nara). Sementara itu Kaiser Kamyo menempatkan pusat kekuasaanya di Kyoto. Konflik bersenjata antara dua ke-kaiser-an tak dapatr dihindari lagi. Kaiser Godaigo disebut Kaiser Selatan melawan kaiser Komyo yang disebut Kaiser utara masing-masing. Kaiser Utara (Komyo) mengangkat Ashikaga Takauji menjadi Shogun Panglima tertinggi tentara yang berpusat di Kyoto, dalam tahun 1338. Sementara itu perang saudara berkelanjutan juga. Dalam tahun 1378, pada waktu Shogun Aishaka’wa ke-III menjadi panglima tertinggi Tentara Kaiser Utara, dipindahkanya markasnya ke Muromachi(dalam daerah Kyoto), dan berusaha memulihkan perdamaian antara kedua Kaiser yang saling berperang. Dalam tahun 1392, perdamaian antara dua kaiser mengakhiri perang Sipil yang telag berlangsung 50 tahun lamanya. Kerajaan dipersatukan kembali dibawah seorang Kaiser dan Shogun Aishikaga ke-III tetap mengendalikan Militernya yang bermarkas besar di Muromachi. Shogun ini pulalah yang menjalankan pemerintahan sehari-hari atas nama Kaiser. Dibangunkanya Kinkaku-Ji ( Pavilliun Emas) di Koto sebagai bagian dari tempat kediamanya yang amat indah, dalam tahun 1397. Selanjutnya Shogun Ashikaga ke-III ini adalah tahun 1401, melakukan perjalanan ke istana Dinasti Ming di negeri China, dan berusaha memulihkan kembali hubungan resmi kedua negeri yang terputus semenjak periose Kamakura. Dalam tahun 1404 , hubungan perdagangan antara Jepang dan China mendapatkan dasar hubungan resmi.
Pada periode Muromachi yang ditandai dengan peperangan-peperangan saudara yang memakan waktu panjang , menyebabkan kelas prajurit atau kaum Samurai menjadi kelas masyarakat yang paling berperanan dalam semua sektor kehidupan. Keadaan perang dengan kaum pemeritahan militer, menambah pengalaman kaum samurai itu dalam berbagai lapangan kehidupan. Perkembangan pengaruh dan kekuatan kaum samurai terutama memuncak setelah perang sipil antara istana selatan dengan istana Utara. Kaum Samurai itu mulai memasukan penemuan-penemuan dan pengalaman-pengalaman mereka dalam kehidupan kebudayaan Aristokrat. Seperti telah dibicarakan pada periode yang lalu , pengaruh sekte Budhha Zen memegang peranan penting dalam mengembangkan kebudayaan kelas prajurit. Agama Budhha sekte Zen , mendapatkan perlindungan Shogun Ashikaga dan kelas penguasa pada umumnya.
Sekte Zen mendirikan sistem yang disebut Gozan Jissatsu, sesuai dengan sistem itu didirikanlah lima buah kelenteng utama dan sepuluh kelenteng bawahan. Para rahib dari kelima ketenteng utama itu bertindak sebagai penasehat politl ke-Shogun-an Muromachi. Para rahib itu tidak saja berperan aktif dalam lapangan politik, hubungan luar negeri dan perdaganan , tetapi juga memainkan peranan utama dalam lapangan kesenian dan kebudayaan.
Perkembangan kesusasteraan “Gozan” yang secara esensial berisi cara-cara atau gaya yang amat mementingkan aturan dan ketertiban berpikir duniawi, dimainkan oleh para rahib Zen. Dapat dikatakan sebagai salah satu tanda sekularisasi (perduniaan) kebudayaan Zen. Tanda lainya yang menunjukan arah sekularisasi itu dengan amat kuat ditampilkan dalam seni bangunan (arsitektur). ( Toko , yaitu lekukan ditembok kamar , yang dipakai untuk duduk atau tidur sedengkan tana , yaitu toko yang dilengkapi dengan rak-rak kayu , serta Shoin yaitu meja jendela, dipandang sebagai dasar dalam bangunan rumah-rumah Jepang. Itu semua adalah gambaran gaya arsitektur Shoin yang banyak digemari pada akhir periode Muromachi. Diduga keras gaya itu ditiru dari bentuk kamar belajar para Rahib.
Lukisan-lukisan yang karakteristik periode ini , adalah lukisan yang dibuat dengan dawat- india , yang disebut Suiboku-ga , membentuk sebagian yang terpenting dari kebudayaan Zen. Kalau pendekatan emosional dan warna-warnamenjadi semangat hidup gaya Yamato-e dalam lukisan , maka warna tunggal Suiboku-ga , adalah khas abstrak dan sugestif. San-sui-ga yaitu lukisan pemandangan alam dipandang sebagai hasil karya semangat Zen , buat membuka kemungkinan hubungan spiritual dengan alam. Para Rahib sendiri menempatkan pelukis itu sebagai kegiatan spiritual. Beberapa diantara mereka menjadi seniman profesional yang berbakat , dan mereka itu biasanya disebut dengan pendeta-pelukis. Dua orang seniman yang mula-mula dalam hidupnya sebagai Rahib , ialah Josetsu , ialah yang melukis Hyonen-zu ( mencoba menangkap ikan dengan sebuah labu ). Seorang lainya ialah Shubun yang menyempurnakan gaya Jepang Sanshui-ga. Meskipun keduanya dapat dipandang terkemuka dalam cara dan gayanya sendiri , namun tidak boleh dilupakan Sesshu. Ia sekembalinya dari Negri China pada Dinasti Ming dalam tahun 1469, menghasilkan lukisan pemandangan asli Jepang dengan mempergunakan Dawat. Sesshu tidak tergolong dalam lingkungan pelukis Ibu-Kota (Kyoto). Ia hidup ditempat terpencil diluar kota , bergaul dengan rakyat dengan segala tingkatan dan mengabdikan dirinya dalam melukis , dengan Soiboku-ga yang dipantuli secara mendalam oleh semangat Jepang. Karyanya yang terkenal Amano-hashidate-zu (pemandangan empat musim); Shuto Sanzui-zu (musim semi dan musim dingin) dan Habuko sanzui-zu (pemandangan alam).
Sejak zaman dahulu kala orang mempunyai kebiasaan membuat teman-teman yang meniru alam. Kecintaan pada alam dibangkitkan oleh Zen dengan sungguh-sungguh kembali. Beberapa orang Rahib Zen ,termasuk Muso Kokushi , menjadi ahli dalam seni pertemanan. Rahib-rahib ini mengembangkan gaya baru dalam seni pertemanan , mereka memadatkan alam yang luas kedalam lingkup yang terbatas dan menggambarkan alam ( yang luas itu seringkali dipanjangkan demikian rupa , seolah-olah mewakili alam raya itu sendiri , seperti pada lukisan warna tunggal pemandangan alam raya Rahib-rahib itu. Taman Soihojo adalah contoh yang menarik , juga terdapat taman-taman yang hanya menggunakan pasir dan batu , tetapi seolah-olah menampilkan jagat raya. Demiian Kare-Sansui (taman-taman batu atau biasa disebut dengan “pemandangan kering” yang terdapat pada daisen-in di Daitoku-ji dan di Ryoan-ji , sebagai contoh karya mereka.
Beberapa puluh tahun kemudian setelah hubungan resmi perdagangan Jepang-China dipulihkan , maka dakam tahun 1467 perang Onin , meletus di Kyoto. Perang itu berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun. Walaupum dalam tahun 1477 perang Onin itu dinyatakan berakhir, namun perang sipil tetap berkecamuk di luar Ibu kota kerajaan. Kyoto ditinggalkan lenggang karena perang , dan banyak orang terkemuka pindah ke Propinsi-propinsi lain, mengembangkan kegiatan hidup mereka masing-masing, terutama dalam lapangan kesenian dan kebudayaan.
ShogunAshikaga ke VIII membangun Ginkaku-ji (paviliun perak) yang hendak menandingi Kinkaku-ji yang dibangun oleh Shogun Ashikaga ke III (1397). Ginkaku-ji juga dapat dipandang sebagai salah satu arsitektur istimewa pada zamanya. Untuk membebaskan diri dari gangguan perang sipil yang berlangsung terus diseputar kerajaan, ia memusatkan perhatianya kepada hal-hal estetik , seperti kesenian mengarang atau merangkai bunga dan upacara minum teh , yang berkembang dalam kehidupan kota.
Sementara perang dan kekacauan melanda terus tanpa hentinya, maka dalam tahun 1543, bangsa Portugis tiba di pulau Tanegashima , yang terletak disebelah selatan Kyushu. Orang-orang asing itu , memperkenalkan kepada Jepang senjata api. Karena kekacauan perang sipil berkecamuk terus diseluruh negeri, maka persebaran penggunaan senjata api, dengan amat cepatnya meluas. Dalam tahun 1549, Fransisco Kavier seorang pendeta gereja Jesuit Spanyol tiba di Kagoshima dan mulai mengajarkan agama Kristen ( Katolik) kepada orang jepang. Jepang dilanda oleh komplikasi kekacauan masyarakat dan disana-disini kekacauan batin. Dalam keadaan yang amat peka itu, dalam tahun 1568, munculah seorang pemimpin perang yang amat kuat bernama Oda Nubunaga, membangun markas besarnya di Kyoto, dan mulai berusaha dengan segala kekuatan yang ada padanya untuk mempersatukan kembali seluruh negeri yang terancam kemelut perpecahan yang amat merisaukan. Setelah berjuang beberapa tahun lamanya, barulah tahun 1573 ia berhasil mengusir Shogun Ashikaga dari markas besarnya di Muromachi, dan dengan itu berakhir pulalah periode ke-Shogunan Muromachi.
Keshogunan Muromachi berakhir tahun 1573 setelah Oda Nobunaga mengusir shogun ke-15, Ashikaga Yoshiaki dari Kyoto. Namun secara resmi, prosedur pemecatan Yoshiaki tidak pernah dilakukan, sehingga kalangan samurai yang menentang Nobunaga masih memperlakukannya sebagai shogun. Dalam direktori pejabat tinggi istana yang disebut Kugyōbunin, Yoshiaki menuruti perintah kampaku Toyotomi Hideyoshi agar datang ke istana. Yoshiaki melakukan sumpah setia di hadapan Hideyoshi, dan masih diperlakukan seperti layaknya Jusangū (keluarga kaisar), serta dianggap sebagai shogun hingga 9 Februari 1588.
Dari akhir zaman Meiji hingga akhir Perang Dunia II, garis keturunan kaisar yang sah menurut kebijakan resmi pemerintah Jepang adalah garis keturunan Istana Selatan. Periode pemerintahan Istana Selatan disebut zaman Istana Yoshino dan bukan zaman Nanboku-cho seperti lazimnya dikenal sekarang. Sebagai akibatnya, shogun pertama hingga shogun ketiga, Takauji, Yoshiakira, dan Yoshimitsu tidak dianggap sebagai shogun karena diangkat sebelum bersatunya Istana Utara dan Istana Selatan.
Struktur pemerintah Keshogunan Muromachi secara garis besar mengikuti struktur pemerintahan berikut lembaga-lembaga pemerintah yang didirikan sebelumnya oleh Keshogunan Kamakura. Sebagai landasan hukum dipakai Undang-undang Kemmu (Kemmu Shikimoku) yang ditetapkan oleh Ashikaga Takauji pada tahun 1336. Kitab Undang-undang Goseibai (Goseibai Shikimoku) yang disusun pada zaman Kamakura dipakai dalam praktik sehari-hari. Selain itu, bila diperlukan dipakai kitab hukum pelengkap bagi Goseibai Shikimoku yang disebut Kemmu Iraitsuika.
Pada awalnya, pemerintahan Keshogunan Muromachi (Istana Utara) tidak stabil karena harus menghadapi pemerintah Istana Selatan. Pemerintahan terpusat di tangan shogun dengan bantuan wakil shogun yang disebut kanrei, dan lembaga-lembaga pemerintahan seperti Samurai-dokoro, Mandokoro, Monchūjo, Hyōjōshū, dan Hikitsukeshū.
Dalam menjalankan pemerintahan, shogun dibantu dewan yang beranggotakan para shugo daimyō. Dibandingkan dengan pejabat shikken zaman Kamakura yang sangat berkuasa, pada praktiknya, pejabat kanrei zaman Muromachi tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan. Pada prinsipnya, semua keputusan pemerintah diambil berdasarkan rapat-rapat. Pejabat kanrei yang membantu shogun diangkat secara bergantian dari klan Hosokawa, klan Shiba, klan Hatakeyama yang semuanya merupakan shugo daimyō berpengaruh. Kepala lembaga Mandokoro diangkat secara bergantian dari klan Akamatsu, klan Isshiki, klan Yamana, dan klan Kyōgoku. Pengambilan keputusan oleh keluarga besar klan Ashikaga merupakan ciri khas pemerintah Keshogunan Muromachi. Posisi penting dalam keshogunan dan sebagian besar shugo daimyō berasal dari keluarga besar klan Ashikaga, seperti: klan Hosokawa, klan Shiba, klan Yamana, klan Isshiki, klan Hatakeyama, klan Shibukawa, klan Imagawa, dan klan Uesugi (garis keturunan pihak ibu).
Kepemilikan tanah berdasarkan sistem tanah milik bangsawan dan negara (shōen kōryō-sei) yang berlaku di zaman Kamakura mengalami keruntuhan di zaman Muromachi. Sebagai penggantinya adalah sistem kepemilikan tanah oleh shugo daimyō (shugo ryōkoku-sei). Pada zaman Kamakura, shogun dan kalangan samurai (gokenin) berpengaruh di daerah mengikat secara langsung kerjasama berdasarkan saling percaya. Sebaliknya pada zaman Muromachi, gokenin merupakan bawahan langsung dari shugo daimyō. Shugo daimyō akhirnya tampil sebagai kekuatan militer yang kadang-kadang sama kuatnya dengan kekuatan militer milik shogun Muromachi.
Pada beberapa kasus, shugo daimyō yang telah menjadi terlalu kuat secara militer diusir oleh shogun. Namun, peristiwa shugo daimyō memerangi keshogunan tidak pernah terjadi. Sebagian besar shugo daimyō merasa puas karena sudah diangkat sebagai penguasa daerah oleh shogun.
Seusai Kerusuhan zaman Kan-ō, Ashikaga Takauji mendirikan kantor pemerintah Kamakura (Kamakura-fu) yang memerintah 10 provinsi yang terletak di Jepang bagian timur. Sebagai Kamakura Kubō (kepala kantor pemerintah Kamakura) adalah putra Takauji yang bernama Ashikaga Motouji, dan diteruskan oleh anak cucunya. Wakil Kamakura-fu disebut Kantō Kanrei. Pejabat Kamakura Kubō dan klan Uesugi yang menjabat Kantō Kanrei akhirnya berselisih dengan Keshogunan Muromachi.
Keshogunan Muromachi secara langsung merekrut kelompok samurai dari wilayah Kanto dan Tohoku yang disebut Kyōto Fuchishū. Di masa pemerintahan shogun Ashikaga Yoshinori, Kamakura Kubō generasi ke-4 yang bernama Ashikaga Mochiuji memimpin Pemberontakan Eikyō melawan keshogunan. Setelah Mochiuji diserang dan dihabisi, maka berakhir pula ambisi keshogunan untuk secara langsung menguasai provinsi-provinsi di bagian timur Jepang. Selanjutnya, putra Mochiuji yang bernama Ashikaga Shigeuji diangkat sebagai Kamakura Kubō yang baru. Namun, Shigeuji kembali melancarkan pemberontakan yang disebut Pemberontakan Kyōtoku. Ia melarikan diri ke Istana Kogawa di Provinsi Shimousa, dan menyebut dirinya sebagai Kogawa Kubō (shogun Kogawa). Keadaan daerah Kanto semakin kacau setelah klan Uesugi terpecah dua menjadi keluarga Yamanouchi Uesugi dan keluarga Ōgigayatsu Uesugi.
Dalam keadaan kacau, adik shogun ke-8 (Ashikaga Yoshimasa) yang bernama Ashikaga Masatomo diutus ke wilayah Kanto. Markasnya berada di Horigoe, Provinsi Izu sehingga disebut Horigoe Kubō (shogun Horigoe). Namun setelah meninggalnya Masatomo, Horigoe Kubō dihancurkan oleh pengikut setia klan Imagawa yang bernama Ise Moritoki (Hōjō Sōūn). Di Provinsi Shimousa, keturunan Ashikaga Motouji memisahkan diri dari Kogawa Kubō, dan mendirikan Oyumi Kubō di Istana Oyumi. Oyumi Kubō adalah pemerintah boneka bagi klan Go-Hōjō yang dibentuk dari anak cucu Ise Moritoki.
Sementara itu untuk memerintah Kyushu, keshogunan mendirikan kantor Kyushu Tandai di Hakata. Imagawa Sadayo (Ryōshun) termasuk salah seorang samurai yang pernah bertugas di Kyushu Tandai. Pada mulanya, Sadayo dikirim ke Kyushu untuk menghancurkan kekuatan militer Istana Selatan di bawah pimpinan Pangeran Kaneyoshi. Namun Ryōshun akhirnya membangun kekuatan militer sendiri di Kyushu sehingga membuat Keshogunan Muromachi cemas. Setelah Ryōshun dipecat, Kyushu Tandai dipimpin secara turun temurun oleh klan Shibugawa.
Di daerah Tohoku, keshogunan antara lain menciptakan jabatan Ōshū Kanrei. Kantor pemerintah Kamakura (Kamakura-fu) yang memerintah Provinsi Mutsu dan Provinsi Dewa dihapus. Sebagai penggantinya, keshogunan untuk sementara menciptakan jabatan Inamura Kubō dan Shinokawa Kubō. Di masa pemerintahan Ashikaga Yoshimitsu, keshogunan mendirikan Ōshū Tandai, dan menugaskan Shiba Iekane sebagai pimpinan. Setelah Iekane meninggal dunia, Ūshū Tandai didirikan di Provinsi Dewa, sedangkan klan Shiba yang berada di sana menyebut dirinya sebagai klan Mogami.

  1. Zaman Peralihan (Masyarakat Feodal II)
·         Periode Mamoyama
Periode Mamoyama , dimulai pada permulaan zaman peralihan , yaitu zaman dipulihkannya kesatuan Kerajaan Jepang oleh Pemimpin perang ( perajurit) Oda nobunaga dalam tahun 1573, yang ditandai juga dengan berakhirnya keshogunan Muromachi.
Walaupun  Kaisar Jepang secara teoritis masih dipandang sebagai lambang kesatuan bangsa dan pemenang kedaulatan kerajaan , namun dalam kenyataan istana dan kaisar diperlakukan tidak lebih dari pada sebagian lambing serimonial dalam upacara – upacara dan pemujaan – pemujaan belaka. Kaisar tidak menguasai kekeuatan-kekuatan perang. Dengan demikian tidak menguasai sumber – sumber kenegaraan menjadi semakin tidak berarti, karena anggaran belanja kerajaan semakin menyusut juga dalam macam dan jumlahnya.Dalam peng Onim juga pengaruh sekte Zen sangat dominan, dengan demikian juga dengan para pendetanya,seperti umpanya pendeta – pendeta kelenteng Gozan, yang menjadi penasehat Shogun  Ashikaga dalam periode Muromachi.
Dengan semakin tidak berdayanya keshogunan Ashikago, sebagai pemenang Pemerintahan Pusat dalam perang Onin, maka hubungan inisiatif hubungan perdagaangan dengan negeri Cina ( dinasti Ming ) diambil alih oleh para Dominyo yang berada di Kyushu dan daerah – daerah kepulauan, provinsi – provinsi bagian barat.
Setelah perang Onin dipandang selesai, tetapi segera itu disusul oleh perang sipil yang diungguli oleh para Daimyo, dengan pembinasaan seberapa banyak banguna indah monumental yang dibangun dalam periode Muromachi, maka muncullah usaha – usaha dari para pemimpin perang, untuk mengambil alih kekuasaan guna mempersatukan kembali bangsa jepang dalam satu Pemerintahan sentral.
Bangkitlah panglima perang Nobunaga, mengambil langkah yang menentukan, mengerahkan pasukannya memasuki pusat kekuatan Shogun Ashikaga( yang sedang terlengah dan kebingungan) di Kyoto, dalam tahun 1568. Lma tahun kemudian (1573), Nobunaga berhasil mengusir Shogun Ashikaga dan mengakiri kekuasaan keshogunan Muromachi, setelah itu, Nobunaga harus mengerahkan pasukannya  keluar kota Kyoto, untuk menghadapi berbagai kekacauan yang ditimbulkan oleh lawan – lawannya , termasuk para daimyo, dan pemimpin – pemimpin sekte Budha, serta kesatuan –kesatuan perlawanan petani yang militant. Satu usaha pemadaman kekacauan yang amat berat dirasakan oleh Panglima Perang ini, Tetapi usaaha itu dilanjutkan juga, untuk menumpas setiap pelawanan, darimanapun datangnya.
Barangkali salah satu contoh yang mencolok dari penumpasan itu ialah serangannya dalam tahun 1571, kepada kelenteng  Enryaku-ji di Gunung Hiei. Pasukan – pasukan nobunaga menyergap gunung itu dan mengepung klenteng dari segala penjuru. Pasukan itu tidak saja menghancurkan bribu – ribu bangunan yang menjadi bagian klenteng, tetapi juga menewaskan orang – orang yang ditemuinya, mulai dari para Rahib, pendeta serta penduduk desa yang berada disekitar pegunungan dan klenteng itu. Dengan kesuka –riaan kemenangannya, pasuka – pasukan Nobunaga tidak  menyadari betapa besar penghancuran yang telah dilakukannya atas pust ilmu pengetahuan dan keagamaan jepang pada waktu itu.
Dalam tahun 1582, ketika panglima Nobunaga memimpin pasukannya untuk menindas pemberotakan di  Propinsi – propinsi bagian barat, di tebunuh dalam usia 49 tahun, oleh seorang Jendralnya sendiri. Segera itu Hidheyosi mengambil alih pimpinan perang. Sebagai Panglima Tentara dan Peperangan, Hideyoshi dalam tempo delapan tahun berhasil mengusai seluruh jepang. Panglima Hideyoshi, mungkin adalah seorang Komandan Tentara terbesar dalam sejarah Jepang.Dia bertumbuh dari pengalamannya, dan berasal dari golongan petani,yang akhirnya muncul sebagai pemimpin bangsanya.,
Walaupun Pangli Nobunaga, teramat sibuk dalam hidupnya untuk menghadapidan menumpas kekacauan, namun di berhasil juga nembangun sebuah puri (kastil) besar di Osaka menjadi kota metropolitan. Dalam usahanya menggalang kekuatan, dikumpulkannya kekuatan – kekuatan militer dalam tahun 1588, dari golongan peteni – petani di desa – desa. Berkat kegigihan dan ketangkasannya dalam menggalang kekuatan militer, maka tugasnya untuk memepersatukan seluruh negeri dibawah satu kekuasaan yang dipusatkan, dapat dikatakan berhasil seluruhnya dalam tahun 1590, setelah mempertaruhkan segenap kekuatannya selama kurang lebih delapan tahun.
Dalam tahun 1590 itu juga misi dari tiga orang bangsawan feudal jepang yang memeluk agama Kristen yang dikirimnya ke Roma dalam dalam tahun 1582, kembali ke Jepang. Maka datanglah misionaris bangsa Italia, yang memeerkenalkan percetakan cara Barat.Sekitar itu juga Hideyoshi meneliti dan mencatat potensi - potensi daerah dan tanah -  tanah yang dapat manghasilkan persedian beras bagi kehidupan rakyat. Diusahakannya juga untuk memulihkan hubungan perdagangan secara normal dengan negeri Cina (dinasti Ming), akan tetapi usaha itu ditolak oleh penguasa negeri Cina. Karena itu, pada tahun 1592 Hideyoshi mengirim ekspedisi bala – tentara ke semenanjung Korea, untuk berkelahi dengan tentara Cina yang ada di sana, setelah Kaisar Ming menolak usul Jepang untuk melakukan hunbungan perdagangan resmi. Tentara penyerang ini dipukul mundur oleh tentara Cina.
Sekitar waktu itulah percetakan gaya Timur diperkenalkan di Jepang, yang berasal dari Korea. Maka  bdengan itu, dimulailah dikembangkan kegiatan percetakan yang menghasilkan buku – buku secara masal dalam negeri.
Karena kegigihan Hideyoshi untuk mengembangkan hubungan – hubungan teratur negeri – negeri tetangganya, yang selalu terhalang oleh kebijakan politik Kaisar Ming, maka dalam tahun 1597, dikirimnya lagi sebuah ekspedisi tentara Jepang menyerang Korea. Ekspedisi penyerangan itu dipimpinnya sendiri. Walaupun ia berhasil mendarat di Korea, namun dalam tahun 1598 pasukan – pasukan menghadapi pukulan – pukulan berat yang menyebabkan terpukul mundur. Hideyoshi meninggal dunia dalam penyerangan itu. Pengganti Hideyoshi yang dipersiapkannya, ialah salah seorang anakny sendiri yang masih bayi. Terjadilah perebutan kekuasaan yang dimenangi oleh seorang Daimyo yang kuat. Yang bernama Tokugawa Ieyasu. Tokugawa segera setelah itu mengembangkan pengaruh ke seluruh Jepang.
Dalam tahun 1600, ketika terjadi perebutan kekuasaan antara pengikut Toyotomu Hideyoshi ang tewas di Korea, dengan pengikut – pengikut Tokugawa, terjadilah peperangan yang disebut peperangan yang disebut peperangan di sekigawara (sekarang ini di daerah Gifu). Perang itu dimenangkan oleh pihakntokugawa, dan pihak Tokugawa Ieyasu mengambil alih kekuasaan defakto atas pemerintahan pusat.
Selama permulaan zaman peralihan, dengan berakhirnya perang Onin, yang disusul oleh perang sipil yang berkepanjangan dan yang memunculkan Panglima – panglima perang yang tangguh, mulai dari pangima  Nobunaga, yang kemudian digantikan panglima Hideyoshi, secara cultural telah terjadi perubahan – peruabahan pandangan kehidupan dalam masyarakat jepang. Slam kurang lima belas tahun Hideyoshi memimpin usaa pemulihan, ia berhasil mengembalikan ketertiban dan stabilitas politik, sebagai dasar untuk pertumbuhan yang lebih mantab. Mulailah tumbuh kegiatan-kegiatan industry dan ekonomi yang langsung berpengaruh pada kehidupan kebudayaan.sebagian besar gaya dan bentuk – bentuk lama direvisi atau ditinggalkan. Rakyat jepang mulai mengembangkan kekuatan – kekuatan baru yang menghasilkan secara nyata fenomena cultural yang posiyif dan segar. Cara berfikir yang mulai terbuka dari kelas penguasa, member pengaruh yang luas pula kepada pertumbuhan – pertubuhan anasir kebudayaan yang cemerlang yang dapat dicapai pada zaman yang masih baru dalam peralihan menuju  kearah yang lebih mapan.
Kreatifitas mulai Nampak dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat yang menghayati tuntutan kehidupan era baru itu. Hubungan dengan dunia luar, baik dunia Timur lainnya, maupun  Dunia Barat khususnya, sudah terbuka secara pelahan – lahan. Hal inipun membawa pengaruh yang kuat dalam perubahan perubahan pandangan kemsyarakatan orang Jepang. Untuk pertama kalinya orang Jepang menyadari tempat kedudukan negeri mereka dalam hubungan negeri – negeri lain di dunia, yang tertera diatas peta bumi. Mulailah ada usaha melebarkan pandangan kepada dunia diluar lingkungannya sendiri. Mereka menjadi kagum dan memandang sebagai keajaiban atas kebudayaan meriil Barat, yang berpangkal pada ajaran aga Kristen yang menyembah hanya satu Tuhan.
Sesungguhnya mulailah terjadi pendewasaan masyarakat feudal Jepang. Perdagangan dikota – kota, memperlihatkan hasil meningkatnya kemakmuran kaum niagawan, dengan kekuatan uang yang luar biasa keras daya dorongnya, juga daya pakaunya. Sementara itu pera pemimpin perang , tertarik pada hal itu dan hendak berusaha menguasai kegiatan para niagawan di kot – kota yang sementara bertumbuh itu. Karena merasa selalu di kejar – kejar oleh kaum perajurit, maka para niagawan dan saudagar – saudagar kaya, mengalihkan perhatiannya kepada bangsawan feudal, pemilik tanah yang luas dan menggalang hubungan kerja sama dengan mereka. Melalui kerja sama yang saling menguntungkan ini, terjadilah kegiatan pembangunan puri – puri dan kota – kota sekitarnya yang membawa kecemerlangan. Pertumbuhan itu dibarengi oleh pertumbuhan kreatifitas dalam lapangan kesenian dan kebudayaan yang memeperoleh latar belakang kehidupan dunia niaga, luar negeri dan kegiatan kekotaan.
Tanah tanah perkebunan atau usaha pertanian         yang luas yag tadinya mejadi pusat kegiatan politik dan ketentaraan dibawah pimpinan para Daimyo, lambat laun berkembang menjadi pusat kegiatan kesenian dan kebudayaan dengan segala kelengkapannya.Tuan – tuan tanah ini , membangun puri – puri yang kokoh dan indah, ditengah – tengah peluang yang ada pada lahan tanah  pertanian mereka dengan memilih temat yang paling baik dengan pemandangan alamnya. Disekitar puri – puri itu dibuat taman – taman yang membuat orang kagum terhadap kebesaran dan kewibawaan pemiliknya.
Sebuah puri pada waktu perang dan kekacauan perang sipil telah memberikan watak kepadanya benteng pertahanan. Di dalamnya dipersiapkan perlengkapan – perlengkapan kemiliteran. Demikianlah selama waktu kekacauan dan perang sipil yang berlangsung lama itu, para tuan tanah, bangsawan feudal, telah membangun puri – purinya sebagai pemusatan atau benteng pertahanan militer yang dibiayainya sendiri. Selain sebagai tempat pemusatan pertahanan. Puri – puri itu juga digunakan sebagai tempat peningkatan martabat dengan pertunjukan kekuatan dan kekokohan mereka. Untuk memepelihatkan gengsi atau martabat, maka mereka membangun kelengkapan puri itu dengan thensukaku atau dojon yang bangunan rumahnya bertingkat – tingkat(bagaikan menara) di atas tanah yang luas. Tenshukaku jepang itu menjadi bangunan yang unik, bertingkat – tingkat, sebagai bangunan kreatifitas seni bangunan Jepang. Sebagai lambing kekuatan, kepemimpinan, puri tidak hanya dilengkapi dengan tenshukaku, tetapi juga menjadi pust pengembangan kesenian, baik seni bangunan, senirupa, seni industry, seni lukis,dan  sebagainya, yang memperlihatkan kehidupan estetik pada umumnya, terutama setelah masa damai dan tenang. Lambat laun dalam masa damai, puri – puri itu meninggalkan watak benteng keperajuritannya ,dan lebih menonjolkan aspek politik dan kerohaniaannya.
Puri Azuchi, adalah puri yang memiliki struktur yang menonjolkan aspek politik dan kerohanian itu. Ia dibangun oleh Oda Nobunaga pada tahun 1576, seperti telah disebut di atas. Puri itu lebih manis disebut sebagai istana yang besar, dimana segala kesenian, disertai berbagai alat untuk menghasilkan berbagai keperluan militer, terdapat didalamnya. Tenshukaku yang terdapat di istana itu, dikatakan seharusnya bertingkat tujuh. Gaya selera yang tinggi puri Azuchi itu, diambil oleh Tayotomi Hideyoshi, dan diperluasnya lagi pada puri Osaka, menjadi istana Jurakudai dan Puri Fushimi di Kyoto.dapat dikatakan peralihan ini sebagai zaman keemasan dalam pembangunan puri-puri.
Apabila seorang bangsawan feudal atau panglima tentara membangun puri – puri atautempat tinggal yang besar dan luas, maka diperlakukan lukisan – lukisan besar untuk menghiasai bagian dalam bangunan – bangunan itu.Diberi upahlah para seniman untuk memberikan dekorasi pada sekat-sekat yang dapat dipindah-pidahkan, pintu-pintu kayu berukir, hiasan dinding dan lain – lain, untuk menambah semaraknya istana itu. Lukisan – lukisan yang demikian itu disebut Dhoheki-Ga, yaitu lukisan yang berpenggal – penggal.Aliran kesenian Kano, sangat ternama dalam gaya – gayanya menggunakan warna – warni yang kaya dengan garis – garis yang kuat. Ada kecenderungan memadukan dengan gaya warna Yamato-e dengan komposisi gaya Suiboku-ga. Pada waktu ini satu kekuatan baru dan penyerangan ditanamkan ke dalam satu hasil karya seni yang disebut “gaya suram” atau lackluster-formality, meninggalkan gay a bersinar cemerlang. Aliran kesenian Kano, sangat gemar menghasilkan lukisan bunga dan burung – burung yang indah, dengan membubuhi garis – garis yang kuat dengan soiboku-gs dan melukisnya dengan warna – warni yang agung komposisi – komposisinya yang berukuran besar, terkenal dalam dunia lukisan Jepang yang dikagumisampai zaman muthakhir
Lukisan – lukisan dekoratif dalam puri Azuchi, puri Osaka dan istana Jurakuda, umumnya adalah hasil karya periode itu(1543-1590), dari aliran Kano, Lukisan – lukisan dinding di kelenteng Chishakuin dan lukisan pohon Pine pada layar yang dapat dilipat – lipat, hasil karya hasegawa Tohaku, adalah juga merupakan lukisan yang mewakili pada masa periode itu.
·                     Periode Edo
Ketika Hideyoshi meninggal dunia, ia meninggalkan seorang anak yang masih bayi, yang dipersiapkan untuk menggantikannya. Tetapi sebelum anak itu sempat menjadi besar untuk menggantikan ayahnya, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara dua kelompok Daimnyo yang besar, dan keduanyapun berhadapan dalam pertarungan bersenjata. Salah satu di antara dua kelompok Daimyo yang bertarung itu ialah Tokugawa Ieyasu yang berpangkalan di Edo ( Tokyo Sekarang ) di daerah Kanto. Tokugawa Ieyasu tadinya adlah pengikut setia dari Panglima Nobunaga, tetapi tidak mau menjadi bawahan Panglima Hideyoshi.
Kemenangan Tokugawa dapat diraihnya dalam perang di Sekigahara dalam tahun 1600, yang membawa padanya sebagai orang yang berhasil memegang tampuk kekuasaan Jepang. Dia memdirikan pemerintahan militer yang dikenal dengan nama “Ke-Shogun-an” Tokugawa, yang berlangsunglebih dua setengah abad sampai akhir abad ke-19. Dalam tahun 1603, Tokugawa Ieyasu ditunjuk oleh Kaiser sebagai Shogun, dan mendirikan Markas Besar Pemerintahannya di Ed. Dapat dikatakan inilah pemerintahan Militer (Ke-Shogun-an) kelas prajurit yang paling berhasil dalam sejarah Jepang. Kepala-kepala daerah yang merangkap Panglima-panglima tentara di daerah-daerah ditunjuk oleh Kaiser dari keluarga Tokugawa. Keluarga Tokugawa secara praktis memerintah seluruh Kerajaan Jepang.
Jika pada periode Momoyama yang lalu, usaha membuka Jepang untuk hubungan-hubungan luar negeri sudah mulai dirintis pengembangannya, dan telah dirasakan manfaatnya dalam negeri, terutama untuk kehidupan ekonomi perniagaan, maka kurang lebih seperempat abad permulaan periode Edo, terdapat kecenderungan keras menutup kembali hubungan-hubungan luar negeri itu. Dalam tahun 1639, diterbitkannya satu larangan keras dari orang Jepang keluar negeri, dan mencegah orang asing masuk Jepang. Hanya orang Belanda Protestasn dan orang Cina non-Kristen yang diperkenankan melanjutkan perdagangannya di pelabuhan Negasaki.
Serombongan orang Rusia dalam tahun 1792, tiba di Hokaido, mengusulkan dibukanya hubungan perdagangan antara kedua negeri Rusia dengan Jepang. Pemerintah Shogun menolak usul itu dan membangunkan pertahanan pantai untuk mencegah masuknya bangsa-bangsa asing.
Tetapi kecenderungan-kecenderungan keras untuk menutup diri dari hubungan luar negeri itu rupa-rupanya tak dapat dipertahankan terlalu lama. Dalam tahun 1853, Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat, tiba di Uraga (sekarang Kanagawa). Kunjungan ini, dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya dalam tahun 1854, mengakhiri sikap ketertutupan pemerintahan Shogun Tokugawa. Isolasi Jepang berakhir secara praktis ketika itu. Pada kunjungan Perry yang kedua kalinya, terjadilah perjanjian perdamaian diikuti dengan hubungan perdagangan yang resmi antara Jepang dengan Amerika Serikat, dan terselenggara dengan baik. Sebagai kelanjutan dari sikap itu, maka pemerintahan Shogun mengizinkan kapal-kapal dagang Amerika Serikat berlabuh pada dua buah pelabuhan yang ditentukan. Izin serupa kemudian diberikan juga kepada Inggris, Rusia, dan Belanda, untuk tujuan perdagangan. Selanjutnya dalam tahun 1856. Townsed Harris mendarat di Shimoda sebagai Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jepang.
Pada waktu ke-Shogun-an Tokugawa ke-III (Iemitsu) ia berhasil mengkonsolidasi segenap kekuatan politik dan militernya. Dan dengan didukung oleh perkembangan ekonomi-perdagangan yang semakin berkembang, Pemerintahan Pusat Kerajaan Jepang di Edo-pun semakin menjadi kuat.
Konfusianisme Chu-Shi, menjadi dasar teoretik Pemerintahan ke-Shogun-an Tokugawa. Ajaran metafisik Konfusianisme menempatkan oposisi kekuatan-kekuatan Kosmos, seperti langit dengan bumi, negatif dengan positif, sebagai pedoman dalam kebijaksanaan kekuasaannya. Maka dengan demikian, pandangan ini dalam tabiatnya mengakui adanya kodrat berupa jenjang hirarki dalam dunia manusia. Adanya kelas-kelas sosial,seperti kelas prajurit, kelas petani, industriawan dan niagawan, ditetapkan sebagai dasar ketertiban masyarakat yang sesuai dengan kodratnya tidak dapat berubah.
Selanjutnya ketika ekonomi-perdagangan menjadi meluas dan semakin berpengaruh, kelas-kelas prajurit dan petani yang bergantung pada hasil tanah pertaniannya, mulai merasakan kemunduran dalam kemakmuran. Sebaliknya kekuatan kelas pedagang-saudagar dan industriawan yang memegang modal usaha yang semakin besar, berkembang atau meningkat terus-menerus menambah kemakmurannya. Tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan standar-standar kemakmuran semua kelas dalam masyarakat dalam periode ini secara relatif meningkat. Salah satu tanda dari keadaan kemakmuran yang relatif meningkat itu, ialah bersebarnya hasil-hasil kebudayaan lebih merata kepada semua lapisan masyarakat.
Dalam tahun 1867, Shogun Tokugawa ke-XV, mengembalikan kekuasaan Pemerintahan Nasional Kerajaan Jepang, kepada Mahkota (Kaiser). Berakhirlah Pemerintahan ke-Shogun-an keluarga Tokugawa dan Pemerintahan kekuasaan Militer, yang dimulai pada akhir abad ke-tiga-belas.
Sesungguhnya, sebelum memasuki Periode Restorasi Meiji, adalah hal yang penting sekali rasanya untuk mengikuti sedikit bagaimana keadaan pada akhir periode ke-Shogun-an Tokugawa, sebelum menyerahkan kekuasaannya. Hal itu dipandang penting, karena kebijakan Pemerintah Meiji juga tentu akan didasarkan pada keadaan yang secara nyata dihadapinya.
Dalam tahun 1844, Raja Belanda Willem ke-II, mengirim surat kepada Shogun Takugawa di Jepang. Baginda Raja Belanda itu memperingatkan, bahwa pertumbuhan lalu-lintas dunia yang aman cepat, tidak memungkinkan Jepang untuk tetap menutup diri selama-lamanya. Pertumbuhan teknik pelayaran sebagai salah satu aspek perkembangan dunia itu, telah memungkinkan  kepal-kapal dari negeri Barat menjelajahi perairan dunia yang luas, dan melayari negeri yang jauh-jauh letaknya. Negeri Cina sudah merasakan kekalahan militer oleh Inggris dalam Perang Candu (1839-1842). Karena itu Jepang seharusnya menyadari hal ini, dan berusaha tidak menyisihkan diri dari peristiwa-peristiwa dunia yang sedang meraih kemajuan-kemajuan. Masalah surat itu menimbulkan perdebatan dikalangan pejabat Pemerintahan Shogun Tokugawa. Tetapi tidak memberikan sesuatu sambutan atas surat Raja Belanda itu. Ke-Shogunan sementara itu sibuk memusatkan perhatiannya kepada pemulihan-pemulihan tradisionalnya yang terakhir. Dalam membenahi usaha-usahanya itu, termasuklah yang paling berat mengatasi timbulnya lawan-lawan politiknya yang semakin kuat mempengaruhi pandangan umum masyarakat yang terletak di luar daerah Edo.
Penguasa Edo (Keshogunan Tokugawa), sesungguhnya dalam tahun 1840, telah mengalami ancaman keambrukan (collapse) dan berusaha sekeras-kerasnya untuk memulihkan kekuatan untuk dapat membangun dan melestarikan kekuasaannya. Tetapi pendapat umum yang berkembang terus di seputar negeri malahan mendorong agar pemerintahan Shogun diakhiri. Pendapat umum itu berkembang menjadi gerakan-gerakan untuk memulihkan kekuasaan kepada Kaiser.
Salah satu usaha Shogun untuk melawan pendapat umum itu, muncul dari kalangan kaum terpelajar kelompok Mito. Daimyo Mito ada hubungan kekeluargaannya dengan Tokugawa. Kelompok terpelajar Mito ini, mengobarkan semboyan-semboyan mereka yang berbunyi : “Kembali ke Kaiser”, dan “Enyahlah  Kaum Barbar”. Semboyan-semboyan itu sesungguhnya dimaksudkan sebagai ejekan kepada pendukung-pendukung gerakan-gerakan untuk memulihkan kekuasaan pemerintahan kepada Kaiser. Dengan semboyan dan slogan kaum terpelajar Mito itu, sma sekali bukan untuk menyerang ke-Shogun-an Tokugawa, juga tidak untuk menganjurkan dipulihkannya kekuasaan Pemerintahan kepada Kaiser. Semboyan yang berbunyi “Kembali ke Kaiser”, adalah inspirasi Konfusionisme-Shinto yang mengingatkan semua orang kepada kewajiban etik, yaitu tata tertib hirarki masyarakat Jepang : Dengan kembali kepada Kaiser, rakyat dengan sendirinya akan setia kepada Shogun, yang telah diserahi kekuasaan pemerintahan oleh Kaiser. Dengan demikian, pada tingkat bawah kekuasaan Shogun itu akan dipatuhi, sebagai “kesetiaan kepada Kaiser. Denagn semboyan atau slogan Ënyahkan kaum Barbar”, berarti dorongan kepada ke-Shogun-an untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyusupan dan agresi asing.
Perdebatan tentang peningkatan daya tahan terhadap agresi asing itu menjadi lebih hangat lagi ketika dalam tahun 1853, Komodor Matthew Perry dengan Squadron “Kapal Hitam”dari Amerika Serikat, berlabuh di teluk Edo, seperti telah disebutkan tadi. Perry diutus oleh Presiden Amerika Serikat, Millard Fillmore, menjajaki kemungkinan membuka hubungan diplomatik ddan perdagangan dengan Jepang. Dalam tahun 1854 dicapai kesepakatan dengan ditanda-tanganinya Perjanjian Persahabatan. Kedua Negara akan melakukan pertukaran Konsul. Maka datanglah Konsul Amerika Serikat pertama untuk Jepang yang bernama Townsed Harris dalam tahun 1856. Dialah yang menyelenggarakan perjanjian perdagangan dengan Jepang dengan segala akibat-akibat selanjutnya.
Tahun-tahun berikutnya yang menentukan kerobohan ke Shogunan Tokugawa, meliputi banyak peristiwa dengan kaum yang menghendaki kembalinya Kaiser sungguh-sungguh dalam kekuasaan Pemerintahan. Oposisi yang keras terhadap Ke-Shogun-an menyangkut politik hubungan luar negeri datangnya dari Tozama dibagian Barat Jepang, khususnya Satsuma dan Chosu. Kekuatan-kekuatan kelompok ini, memang cukup besar. Kelompok-kelompok ini, tidak sejalan dengan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Shogun, karena itu secara teoretik mereka tidak diikut sertakan dalam kekuasaan atau dalam peristiwa-peristiwa Nasional yang terjadi di Edo. Pada permulaan tahun-tahun 1860-an Pemerintahan Shogun melakukan perbaikan-perbaikan dalam pemerintahannya, dengan mengangkat beberapa orang dari Daimyo luar yang penting menjadi anggota Dewan Pemerintahannya. Pada waktu itulah dilakukan percobaan untuk meningkatkan kekuatan hubungan dengan Kyoto (Tempat Kediaman Kaiser) dengan jalan merencanakan perkawinan antara Shogun dengan salah seorang Puteri Istana Kaiser.
Perkembangan-perkembangan terakhir itu mendapat oposisi keras dari kalangan muda, pengikut-pengikut kelas Samurai dari Satsuma, Choshu dan tempat-tempat lainnya. Mereka menanggalkan ikatan-ikatan feodal mereka dan menjadi ronin, jadi bebas menyuarakan keyakinan-keyakinan politik mereka. Samurai-samurai ini, disebut juga Shishi “orang-orang yang bercita-cita tinggi”. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil untuk apa yang dinamakan “Gerakan Kesetiaan” (Loyalist), yang bertumbuh dengan pesat pada tahun-tahun selanjutnya. Pada pertengahan tahun-tahun 1860-an, gerakan ini menyuarakan secara terbuka keinginan-kenginan mereka agar Shogun menyerahkaan kekuasaan pemerintahan dengan alas an tidak saja (Shogun) telah merampas kekuasaan resmi Kaiser, tetapi juga telah gagal secara militer melindungi Jepang dari gangguan Narnarisme (kebiadaban) Barat. Bagi mereka semboyan “Pulihkan Kaiser”, berarti pemulihan kekuasaan pemerintahan kepada Kaiser. Dan semboyan “Usir Barbarisme”, berarti sesuatu yang oleh Ke-Shogun-an tak dapat dijalankan, yaitu mengusir orang-orang asing dari bumi Jepang. Konfrontasi antara Ke-Shogun dengan kaum loyalist, mencapai klimaksnya ketika kaum loyalist itu berkumpul di Kyoto, menyatukan diri pada kelompok Menteri-Menteri Kerajaan yang anti Tokugawa, di istana Kaiser.
Dalam tahun 1866, ketika untuk keduakalinya (dalam waktu dua tahun) Ke-Shogunan mencoba menindas golongan loyalitas didaerah Choshu yang amat gawat dan tak terkuasai, Satsuma yang telah menjalin hubungan “persekutuan rahasia” dengan para loyalist Choshu menolak untuk ikut sera dalam ekspedisi penindasan itu. Dalam ekspedisi penindasan yang dilancarkan pasukan-pasukan Shogun mengalami kekalahan dan terpukul mundur dengan kocar-kacir. Dengan bukti kelemahan-kelemahan militer Shogun ini, maka kaum loyalist Choshu dan Satsuma, diikuti oleh Rakyat dari berbagai daerah menyelenggarakan perampasan kekuasaan Pemerintah di Kyoto pada akhir tahun. Mereka memproklamasikan “Pemulihan Kekuasaan kepada Kaiser”.
Shogun Tokugawa terakhir menyadari kesia-siaan untuk melakukan perlawanan selanjutnya, “menyerah”. Walaupun masih terdapat pengikut-pengikut Shogun yang di sana-sini sempat membuat perlawanan, namun “Pemulihan Kekuasaan Pemerintahan kepada Kaiser” pada permulaan tahun 1867, telah terjadi dengan hanya sedikit pertumpahan darah.
Bila menyelusuri kembali, dengan ringkas zaman peralihan khusunya periode Tokugawa, yang menguasai Jepang selama dua ratus enam-puluh lima tahun, maka akan nyata bahwa zaman itu adalah sungguh-sungguh zaman peralihan yang amat menentukan pilihan sikap Jepang dalam pertengahan abad ke-19, menghadapi tantangan bangsa-bangsa Barat yang telah mengembangkan sayapnya keseluruh dunia untuk menguasainya.
Dipandang dari sudut yang lebih luas, periode Edo dengan ke-Shogunan Tokugawa, dapat ditandai dengan tiga macam karakteristiknya yaitu :
1.      Ke-Shogunan Tokugawa melaksanakan kebijakan menarik kaum Samurai dari negeri-negeri pedalaman. Banyak Samurai yang tanpa pekerjaan menjalani kehidupan malas dengan mendapatkan nafkahnya dari upah tetap dari pemerintah. Beberapa orang Samurai memang juga ikut dalam birokrasi dan memainkan peranan dalam pemerintahan Negara dan daerah-daerah feudal, tetapi kebanyakan menjadi penganggur yang tidak produktif.
2.      Ke-Shogunan dengan kaum pelilik-tanah, bangsawan feudal, mengandalkan penerimaan pajak dari para petani sebagai dasar ekonomi dalam kekuaaannya, maka sebagai akibatnya dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan, kemakmuran berpusat pada kaum saudagar dan orang-orang kota lainnya. Sebaliknya kaum tani menjalani kemiskinan, menyebabkan ke-Shogunan yang bersandar pada produksi kaum tani itu kerap kali mengalami kekurangan anggaran belanja.
3.      Kekurangan pengetahuan tentang ekonomi-kapitalis (yang  harus dihadapinya yang digunakan orang Barat ), dicoba dilawannya dengan melaksanakan “reform-reform” berdasarkan ideology Konfusianisme yang terdiri atas berbagai larangan dan menetapkan ancaman-ancaman, agar rakyat bekerja keras dan melakukan penghematan. Pemulihan atau reformasi berdasarkan ideology itu, tidak mempan menghadapi kenyataan-kenyataan dalam kodrat kehidupan ekonomi. Dan lambat laun timbullah kontrakdiksi-kontrakdiksi alam sistem social-ekonomi yang membawa keambrukan sistem itu sendiri dari dalam.
          
Kondisi Budaya, Ekonomi dan ilmu pengetahuan
Setelah masuknya ekonomi uang keseluruh bangsa serta semakin banyaknya tuntutan selera ekonomi kekeyaan semakin menumpuk ditangan keles pedagang. Kondisi Bakufu sendiri berada dalam kesulitan keuangan sedangkan para samurai dan petani berada pada kondisi kemiskinan. Setelah jaman Genroku berusaha untuk membangun kembali keuangan dengan cara mencetak ulang mata uang. Menetapkan pajak “kemawahan” (Goykin ) bagi pedagang kaya tetapi cara itu tidak berhasil.
Yoshimune shogun kedelapan, mengeluarkan larangan keras terhadap kemewahan dan dekadensi. Ia mendorong berkembangnya seni beladiri dikalangan kaum samurai dan memerintahkan seluruh bangsa untuk hidup secara sederhana. Langkah lainya untuk membantu keadaan keuangan berusaha mendorong pembukaan tanah pertanian baru dan pertumbuhan industry. Hasil – hasil perbaikan ini juga tidak memuaskan.
Dengan bertambahnya kesulitan keuangan, Bakufu dan para daimyo menjadi semakin keras berusaha memungut pajak dari petani, yang mengakibatkan petani menderita kemiskinan yang semakin parah. Banyak diantara mereka terpaksa melepaskan tanahnya dan menjadi buruh tani meskipun beberapa petani yang lebih baik keadaanya mulai membuka toko minuman keras atau menjadi lintah darat. Petani yang paling miskin mulai berkelompok untuk membela haknya dengan cara paksa atau untuk memberontak.
Novel – novel populer dicetak dalam jumlah besar termasuk share–bone yaitu novel pendek yang mengambil tema kehidupan di tempat – tempat hiburan dan Yomihon, yaitu roman –roman sejarah panjang.
Dalam bidang kesenian. Bentuk – bentuk baru seperti nanga yang berasal dari gaya populer di Cina Ming Ch’ing, atau gaya realisme yang berasal dari penelitian akan alam seperti yan terlihat dalam karya Maruyama Okyo. Sedangkan seni mencetak gambar dengan dengan cukilan kayu yang disebut ukiyo-e mengalami kemajuan dalam segi teknis yang menuju kepada jaman emas nishiki-e (gambar cetak polychrome).Baik dalam tema maupun pada pribadi senimanya.
Pendidikan tersebar ke seluruh Negara. Disamping sekolah – sekolah yang diselenggarakan oleh Bakufu dan Clan, juga terdapat terakoya atau sekolah di kuil, yang merupakan sumber pendidikan bagi anan – anak pedagang dan petani, dan merupakantempat dimana mereka dapat memperoleh dasar – dasar pendiikan diantaranya membaca, menulis, berhitung.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, ajaran konghuchu resmi tetap berlangsung seperti biasanya, tetapi jaman ini menyaksikan tampilnya Koku-Gaku (studi nasional) yang mulai mengimbangi perhatian yang berlebihan pada ilmu pengetahuan dari Cina dengan studi bahasa Jepang kuno, dan menganjurkan kembalinya cara hidup dan pemikiran kuno dan bersifat pribumi. Deretan sarjana yang dimulai dengan Kada-No-Azumamaro hingga Kamo-No-Mabuchi, Motoori Norinaga dan Hirata Aksutane, menandakan suatu kebebasan baru bagi ilmu pengetahuan jepang dan lolosnya dari pandangan yang sekian lama dikuasai oleh ilmu pengetahuan Cina. Koku-gaku juga dapat disebut ilmu pengetahuan baru dalam pengertian bahwa orang –orang yang bertanggung jawab atasnya terutama terdiri dari orang yang berasal dari kelas pedagang atau petani.
Cabang ilmu pengetahuan lain ialah ran-gaku atau “ ilmu pengetahuan belanda”. Bahasa belanda telah lama dikenal oleh para penterjemah untuk bahasa belanda di Nagasaki, tetapi shogun yoshimune menyuruh Aoki Konyo dan sarjana lain untuk mempelajari bahasa tersebut. Maeno ryotaku, murid aoki bersama dengan sarjana – sarjana lain berusaha keras dan berhasil menterjemahkan kitab Tafel anatomia, karya belanda mengenal anatomi, dan sejak zaman ini bahasa Belanda dan bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan denganya menjadi cabang ilmu pengetauan yang diakui di Jepang, yang secara menyeluruh dikenal sebagai Ran-gaku. Melalui ilmu bahasa, cabang ilmu pengetahuan ini berkembang higga mencakup pelajaran dalam berbagai bidang dari dunia barat, dan banyak pengetahuan baru seperti ilmu kedokteran, ekonomi, ilmu alam dan kimiadiperkenalkan di Jepang.

Pembukaan Kembali Kerjasama Jepang dengan Negara – Negara Barat.
Bangsa pertama yang mengetuk pintu Jepang ialah Rusia. Pada tahun 1792 Rusia yang telah meluaskan wilayahnya hingga ke Siberia, mengirim seorang utusannya, Adam Laxman, ke Nemuro di Hokkaido untuk memulanngkan awak kapal Jepang yang kandas di Rusia, dan untuk mengajukan nota resmi yang memohon dibukanya perdagangan antara kedua Negara itu. Bakufu memberitahu utusan ini tentang kebijaksanaan pengasingan Jepang, mengatakan bahwa pembicaraan lebih lanjut harus dilakukan di Nagasaki,dan memintanya supaya pulang kembali. Setelah itu Rusia mengirim utusan ke Nagasaki, tetapi utusan ini di usi oleh penguasa Jepang, yang menyebabkan Rusia kemudian menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang wilayah bagian utara Jepang. Karrena itu BAkufu meletakkan Hokkaido langsung di bawah pengawasannya dan memperkuat pertahanan disana.
Pada tahun 1853 Komodor Perry, komandan dari Squadron Hindia Timur dari Amerika Serikat, memasuki pelabuhan Uraga dengan kapal- kapal perangnya dengan membawa surat dari presiden Amerika yang ingin membuka hubungan dengan Jepang. Bakufu memohon pertimbangan dari istana dan para daimyo mengenai cara membalas surat itu. Terjadi perselisihan faham di antara mereka yang mendukung di bukanya Negara dan mereka yang menuntut supaya orang-orang biadab ini di usir. Tetapi Perry kembali pada tahun berikutnya untuk meminta jawaban, Bakufu menyerah dan perjanjian persahabatan antara Jepang dan Amerika Serikat di tandatangani. Perjanjian itu di atur bahwadi pelabuhan Simoda dan Hokadate di buka bagi kapal – kapal Amerika untuk memberi persediaan bahan bakar, air dan makanan. Ini di susul dengan perjanjian yang serupa denagan Inggris,Rusia dan Belanda. Dengan demikian pintu Negara Jepang di buka kembali setelah pengasingan yang berlangsung dua abad.

KESIMPULAN
Sejak pemerintahan beralih ketangan shogun. Pada masa ini kaisar hanya sebagai lambang sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah shogun. Pada masa keshogunan ini jepang banyak berhubungan dengan Negara tetangga seperti cina dan korea selain itu pada masa keshogunan ini merupakan awal mula hubungan jepang dengan negara-negara barat. Perkembangan pemerintahan Shogun mulai dari Periode Kamakura, periode Muromachi, Periode Mamoyama dan  Periode Edo. Kemudian Akhir dari kekuasaan Shogun atau runtuhnya kekuasaan Shogun

SUMBER :
Agung, Leo S. 2012. Sejarah Asia Timur 1. Surakarta : Ombak
Mattulada. 1979. Pedang dan Sempoa, Suatau Analisis Kultural “Perasaan Kepribadian” Orang Jepang. Jakarta : Depdikbud.
Nio Joe Lan. 1961. Djepang sepanjang masa. Jakarta : PT Kinta Djakarta.
Robert N. Bellah. 1992. Religi Tokugawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PADA ERA SHOGUNAN TOKUGAWA
, Y.R. Subakti

0 Response to "Sejarah Asia Timur"

Posting Komentar