NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA
DI JAWA MASA LAMPAU
A. Perlengkapan Magis - Religius Kedudukan Raja : Masalah Kewenangan
Dalam kehidupan tradisional orang jawa hubungan antara hamba dan tuan bukan bersifat tak pribadi, sebalikya hubungan ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling hormat dan tanggung jawab.secara ideal hubungan ini menuruti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga.hal ini juga berlaku pada hubungan sosial lainya. Tetapi bila kita tinjau dari konsep kawula-gusti dalam pakaian mistiknya, jelas dapat kita lihat betapa sudah benar-benar berakarnya arti hubungan tuan-hamba yang akrab ini dalam pikiran orang jawa.
Dalam mistik jawa kata-kata jumbuhing kawula gusti(menyatunya hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya kesatuan yang sesungguhnya(manunggal) dengan Tuhan. Pelukisan ini lebih dramatis karena kata kawula dan gusti menunjukan status manusia yang paling rendah dan paling tiggi dalam masyarakat. Tetapi walaupun terdapat ikatan yang mempersatukan, namun baik hamba maupun tuan tidak diperkenankan melanggar garis pemisah yang resmi dari hierarki sosial ini, yang berdasarkan kelahiran atau pangkat dan jelas terlihat dalam banyak peraturan yang menentukan tatacara pemakaia busana, penggunaan bahasa(krama-inggil, krama, madya dan ngoko), penggunaan warna atau cara penghormatan.
Konsep kawula gusti sangat diwarnai oleh ciri lain pemikiran jawa, kepercayaan yag tak tergoyahkan akan nasib, aka hal-hal yang sudah ditakdirkan, yang dinyatakan dalam kata pinesti(ditentukan), tinitah (ditakdirkan), atau kata pinjaman dari bahasa arab, takdir.ada dua lapisan utama pada masyarakat jawa: wong cilik(orang biasa) dan penggede(golongan penguasa), tidak terutama dari segi kekayaan ekonomis atau keuggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan, dari segi kawula(hamba) terhadap bendara(tuan), dan tempat seseorang dalam tata masyarakat, jadi hak seerta kewajibanya, dianggap sebagai telah ditakdirkan. Kisah Jaka Tingkir dan kisah Ki Ageng Pemanahan dari Babad Tanah Jawi merupakan sebuah contoh.
Di gelanggang politik, kekuasaan Mataram atas pangeran-pangeran Jawa Timur yang perkasa dan bahkan atas daerah Kasunanan Giri telah ditakdirkan dan dijelaskan, sebagaimana mestinya, jauh sebelum Sunan Giri yang bertahta ketika itu. Pastilah ramalan ini merupakan sarana untuk membuat para penguasa Surabaya tunduk kepada nasibnya. Namun demikian, Surabaya menganngkat senjata melawan yang dipertuan berulang-ulang kali. Pertempuran yang terhebat menurut babad Tanah Jawi terjadi selama lebih sepuluh bulan antara Amangkurat II(1677-1703), ketika Adipati Surabaya, Tumenggung Jayapuspita mempertahankan diri terhadap seragan pasukan gabungan Mataram dan Belanda selama lebih dari sepuluh bulan karena keyakinanya kepada Islam.
Kembali kepada hubugan antara raja dan rakyat, konsep kawula gusti tidak hanya menunjukan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi lebih menujukan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari hal yang sama. Sinkretisme ini berasal dari teologi India(umpamanya Trimurti dan Hari-hara). Suatu ungkapan lama orang jawa tentang persatuan unsur-unsur yang berlainan adalah patung Ketanegara yang terkenal di Singhasari sebagai Batara Ciwa-Buddha. Sesuai denga sifat mistik yang mana pun, pikiran-pikiran sinkretis ini berusaha membuktikan bahwa semua benda hanya merupakan aspek, cakti, pancaran, bagian integral dari ke-Esa-an utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala sesuatu, dan dalam pemikiran orang Jawa ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Werfang (YangMahakuasa), atau lebih dikenal dalam putranya, Sang Hyang Tunggal.
Dengan pemikiran imaginatif-proyektifnya, orang Jawa melambangkan kesatuan Kawula-Gusti ini denga benda yang amat tepat sekali, yaitu keris, suatu senjata kebesaran. Kedua bagian keris,sarungnya(warangka) dan matanya(curiga), diberikan penafsiran yag sangat bersifat mistik. Sarung disamakan degan rakyat dan matanya dengan raja, jadi melukiskan hubugan yang mutklak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain, dan juga kesalingtergantuganya dalam arti bahwa sarungnnya melindungi matanya dari kerusakan, dan sebaliknya matanya melindungi sarungnya(yang biasanya terbuat dari kayu terbaik dilapisi perak atau emas berukiran indah) agar jangan sampai dicuri atau hilang. Nilai sebilah keris diukur dengan kekuatan gaib, yang terkandung dalam pamor(tatahan besi meteorit pada matanya) dan diperoleh dari kekuatan gaib sang empu(pandai besi) yang membuatnya. Tetapi karena mata keris melambangkan raja sebagai inti, pokok, sebagai kekuatan yang memimpin negara, maka raja(mata keris) harus layak, sesuai dengan patokan mana pun juga, bagi rakyat(sarung). Hubungan yang tak terpisahkan antara penguasa dan kaula juga dibandingkan dengan sebentuk cincin (Sesupe), raja sebagai sesotya (batu permata) dan rakyat sebagai embanan(ikatan).
Sumber informasi lain tentang hubungan kawula gusti tentulah wayang. Walaupun belum terdapat kesepekatan mengenai usianya yang sesungguhnya, namun bila teori Rassers diterima, maka asal mulanya dapat ditetapkan sudah lama sekali dalam sejarah. Setidak-tidaknya dapat dibuktikan telah ada dalam abad XI sesudah Masehi, jadi jauh sebelum masa Mataram II. Wayang menghindarkan sesuatu yang bermanfaat bagi setiap penonton yang terdiri dari berbagai macam orang. Pertama-tama wayang merupakan hiburan bagi semua orang, tetapi yang lebih penting lagi merupakan pelajaran bagi semuanya. Karena di dalamnya diungkapkan berbagai macam aspek perilaku manusia, mulai dari ketamakan yang paling hina sampai kepada budi luhur(moralitas tinggi) dari ketamakan yang paling hina sampai kepada budi luhur(moralitas tinggi), dari kelemahan kecil manusia atau dewa sampai kepada kekuatan keyakinan yang tak dapat disangkal, dari tipu daya diplomasi sampai kepada berlakunya takdir yang tak dapat ditawar-tawar, dari permainan kata yang jenaka sampai kepada dialog yang bersifat mistik.
Dalam konsep orang jawa tentang organisme negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Karena mikrokosmos sejajarb dengan makrokosmos, raja Jawa Hindu disamasuaikan dengan dewa. Identifikasi(penyamasesuaian) raja-dewa sendiri tidak berlaku lagi dalam masa Jawa Islam. Teologi islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya , yaitu kedudukan kalipatullah, wali Tuhan di dunia. Amangkurat IV adalah orang pertama yang menggunakan gelar ini dalam betuk Prabu Mangkurat Senapati Ingalaga Ngabdu’-Rahman Sayidin Panatagama Kalipatullah.
Orang jawa percaya bahwa hanya rajalah satu-satunya perantara yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan makrokosmos para dewa. Ide kekuasaan mutlak dan tertinggi dinyatakan dalam ungkapan wewenang murba wisesa yang digunakan untuk kemahakuasaan Tuhan maupun kekuasaan Raja, jadi lagi-lagi memperlihatkan bahwa keduukan raja dianggap sebagai pencerminan kedudukan Tuhan. Tugas-tugas utama raja dalam bidang politik adalah menjaga supaya jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban kalau seandainya sudah terjadi.
Dibebani oleh godaan-godaan kekuasaan yang tiada batas dan tanggung jawab tunggal dan luas sekali untuk mempertahankan ketertiban dunia ini, maka raja haruslah luarbiasa keunggulan dan kecakapanya. Orang jawa beranggapan bahwa keunggulan yang demikian harus nyata dalam sinar cahaya wajah raja, dan seorang raja yang buruk biasanya disamasesuaikan dengan cacat.kekuasaan raja dianggap tidak terbatas, ia tak dapat diatur dengan cara-cara duniawi, tetapi dalam dirinya terdapat kekuatan, yang mencerminkan atau bahkan identik dengan Ruh dewa Jiwa illahi(Hyang Suksma Kawekas), yang mengendalikan kehendak pribadinya .konsep kewicaksanaan merupakan alat yang sangat umum dalam usaha bina negara pada masyarakat tradisional Jawa, tetapi sifatnya yang seluruhya abstak dan umum membatasi kegunaanya dalam menghadapi kenyataan pemeririntahan. Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialh kemampua nya untuk memilih pegawai-pegawainya. Peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan dalam banyak karangan
Di jawa kedudukan raja paling sering diabsahkan dengan membuktikan kesinambungan. Hubungan entah darah entah penglaman yag serupa, dengan seorang pendahulu yang agung memungkinkan seseorang ikut tersinari oleh aura keagungan. Bila sesuatu wangsa memerintah tidak mempunyai tali hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, maka orang jawa megusahakan berbagai cara untuk membuktikan kesiambungan. Kesinambungan juga dapat dinyatakandengan cara kosmologi hindu. Alam semesta senantiasa berputar terus. Tiap peredaran terdiri dari empat zaman yang kian memburuk. Orang jawa Mataram II mengetahui kosmologi ini, walaupun dalam bentuk yang sudah diubah, lalu menggunakan untuk membenarkan pergantian wangsa. Kebutuhan untuk mengakhiri zaman kalabendu(zaman yang paling akhir dan penuh dosa dalam peradaban untuk selanjutnya memasuki masa kesejahteraan dan kemakmuran di bawah ratu adil menjadi alasan yang berulang kali terjadi dalam sejarah pemberontakan dan kerusuhan di jawa
Cara lain untuk menigkatkan kemegahan raja adalah silsilah raja. Menurut Berg pada masa mataram II silsilah-silsilah ii disusun buat pertama kalinya islam memaksa digantikanya penyemasuaian raja-dewa Jawa Kuno. Karena itu silsilah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan kemiripan dengan dengan penyemasuaian raja-dewa dalam hal ini tidak menjadi soal bahwa semua patokan kronologi atau konsekuensi tempat-tempat dan peristiwa diabaikan.
B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja : Masalah Tata Pemerintaan, Tujuan Dan Sarana Birokrasi, Prinsip Swasembada dalam Pemerintahan
Raja harus mencerminkan perhatian utama raja, yaitu pemeliharaan keselarasan. Kebutuhan ini, yang dinyatakan sebagai Njaga Tatatetntrming Praja Menjaga dan memelihara ketertiban Negara), menentukan tugas pokok dan terpenting pangreh-praja (atau paprentaan: pemerintaan), yaitu memelihara dan menjaga keamanan.
Sejak masa dulu perlindungan dan dorongan terhadap kehidupan beragama dilakukan dengan member hak-hak khusus kaum alim-ulama. Biasanya tanah dibagikan oleh raja kepada kaum alim ulama, tidak saja sebagai mata pencaharian, tetapi terutama agar mereka cukup kuat keuangannya untuk melakukan pelayanan keagamaan dengan memuaskan guna kesejahteraan raja dan demikian pula kesejahteraan kerajaannya. Wewenang ini dalam masa Jawa kuno disebut Dharma atau Dharma Lepas
Tidak adanya di kalangan Islam pengaturan yang luas dan hierarkis dari Jabatan Ulama seperti pada Agama Kristen tidak mendukung pendapat yang demikian. Lembaga kepenghuluan mungkin sudah lebih lama, karena penghulu adalah kepala alim ulama di masjid di ibukota raja dan hanyalah secara berangsur angsur dia masuk dalam system pemerintahan sebagai suatu bagian pemerintahan yang khusus.
Para penghulu rendahan tidak dianggap termasuk tata pemerintaan raja karena, berbeda dengan pejabat-pejabat kerajaan yang lain, mereka tidak menerima penghasilan atau lungguh dari raja, sejak masa dulu mereka harus hidup dari pembagian zakat dan fitrah, sumbangan wajib yang ditentukan agama Islm bagi para penganutnya
Gerombolan penjahat dan penyamun rupanya merupakan lembaga yang sudah mapan dan lama usianya, yang tidak hanya terdapat pada masyarakat Jawa, tapi juga dimana-mana di dunia pda waktu-waktu tertentu. Contohnya gerombolan penjahat di India dan Burma, adanya serikat-serikat rahasia di Cina, dan koloni-koloni bajak laut di selat malaka dan kepulauan Sulu dari Filipina membuktikan senantiasa adanya lembaga-lembaga ini dalam sejarah.
Para penjahat membuat kerajaan berada dalam keadaan yang tiadak stabil, penuh kerusuhan dan tidak aman, bila kekuasaan raja lemah, tetapi mereka akan bersembunyi dan mencari perlindungan di hutan-hutan jika ada pemerintahan yang kuat dan mampu bersembunyi di daerah-daerah terpencil dan terasing mereka bahkan mungkin memebentuk organisasi-organisasi desa yang tetap dengan sesame penjahat dan keluarga mereka.
Bila gerombolan perampok De facto menguasai daerah-daerah tertentu, mereka memaksa penduduk desa dan para pendatang yang lewat membayar sejenis upeti. Perpajakan itu sendiri , sedikit banyaknya, adalah upeti sebagai tukaran perlindungan raja. Jadi dapat dimengerti mengapa perpajakan dan pemungutan pajak, dalam bentuk uang, hasil bumi, dan hasil kerja, merupakan tugas yang penting bagi Negara.
Sebagai seorang raja, melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama lainnya dari seorang raja dalam memelihara keserasian. Winter membicarakan suatu cirri hukum Jawa dalam uraiannya tentang pengadilan di kerajaan Surakarta sekitar pertengahan abad XIX, yaitu usaha mendamaikan, atau berkompromi. Dalam pengadilan yang bersifat kompromi ini pegawai raja, penguasa wilayah, diminta untuk menylesaikan perkara dengan persetujuan antara dua pihak yang bersengketa. Winter menulis bahwa cara penylesaian yang dapat diterapkan pada semua perkara jenis apapun juga, jadi termasuk perkara sipil ataupun criminal.
Dari segi kepraktisan dalam kebijaksanaan Negara, alasan yang cenderung untuk memberikn kedua belah pihak hak untuk menylesaikan persoalan terleps dri campur tangan luar, bahkan dari Negara, harus lebih dicari dalam suatu cirri yang khusus terdapat pada tata pemerintahan pada masa Jawa Kuno.
Negara juga menganut kebijaksanaan memperbolehkan desa sedikit banyaknya berswasembada, khususnya dalam bidang keamanan. Kebijaksanaan dilaksanakan dengan membetuk tanggung jawab kolektif untuk beberapa kejahatan dan tindakan tindakan ilegallainnya. Jadi tidak hanya penduduk di tempat terjadinya kejahatan atau perbuatan yang dinyatakan bertanggung jawab, tetapi juga para tetangga yang tinggalnya d segenap empat penjuru dalam jumlah cengkal ( satu cengkal sama dengan 7,95 kaki) tertentu dari tempat kejahatan.
Peraturan pembiayaan otonom untuk semua bagian tata pemerintahan sangat cocok bagi suatu Negara yang diperintah berdasarkan cita-cita tidak berdasarkan campur tangan. Prinsip campur tangan juga sangat sejalan dengan swasembada kehidupan pertanian di desa Jawa, yang karena espace –social-nya yang sempit tidak menghendaki pembedaan kerja maupun perhubungan yang intensif dengan dunia luar. Dengan membiarkan hidup berjalan sekehendaknya, sesuai dengan tradisionalisme konservatif, maka Negara menjadi pengawal terhadap gangguan, dan baru campur tangan hanya bila ada yang mengganggu ketenangan.
Kekuasaan punggawa yang penuh dan tak terbagi, serta kedudukannya yang otonom menjadikan ia orang yang luas tanggung jawabnya, dan ini terutamma demikian bila ia mempunyai tanggung jawab territorial karena itu yidak mengherankan bahwa, dalam daerahnya, dia memegang kekuasaan pemerintah, mengadili dan memimpin kontingen pasukan setempat.
· Priyayi
Kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan raja diisi oleh para punggawa (pejabat), yang lebi dikenal dengan sebutan abdi dalem (abdi raja). Seperti yang disebut oleh Babad Tanah Jawa, para pejabat disebut juga bala (rakyat, pasukan), meskipun mereka, karena menjadi abdi raja, dapat memperoleh kedudukan ( aristocrat) yang sama. Jadi masyarakat pada periode Mataram II, kelompok elitnya bisa dimasuki oleh orang biasa, tetapi hanya dengan jalan menjadi abdi raja, yaitu sebagai seorang pejabat.
Kepatuhan tanpa syarat dituntut juga dari anggota angkatan bersenjata. Pasukan ibarat anak panah dengan si pemanah, panglima (senopati) mebidiknya kea rah mana saja yang di kehendaki. Meskipun masyarakat jawa memiliki kelas elite yang terbuka, namun pejabat-pejabat kerajaan secara tradisional dimbil terutama dari kelas priyayi, yaitu kelompok sosial yang sesungguhnya terdiri dari punggawa (pejabat), tetapi secara berangsur-angsur akhirnya mencangkup juga para anggota keluarga dan keturunannya. Gelar putra (keturunan lansung raja) da sentana (keluarga besar raja) brubah-ubah menurut dekat jauhnya hubungan kekeluargaan. Turunan raja langsung diberi gelar gusti dan keturunan yang paling jau disebut raden .
Dalam hubungan dengan kesetiaan yang dituntut oleh raja dari priyayi, maka seba, kehadiran yang biasa dilikukan pada hari-hari audinsi tradisional, snen dan kamis, dianggap sebagai kewajiban yang paling penting bagi pegawai. Seba menandakan kesediaan pejabat untuk setip waktu melayani raja atau atasannya. Tetapi seba bahkan mempunyai arti politik yang lebih tinggi, sebab ia merupakan kepatuhan masyarakat kepada kekuasaan dan perintah seseorang yang lebih tinggi kedudukannya. Seba merupakan hal ang sangat penting dalam hubungan formal antara atasan dan bawahannya, sehingga dalam piwulang berulang kali disebut sebagai suatu pahala yang paling terpuji.
Bila seorang pejabat ingin menyatakan rasa dendam, penyesalan atau bencinya kepada atasan atau raja, sering sengaja menghindari ke Pasowanan. Pasowanan itu sebenarnya mempunyai fungsi khusus, yaitu peningkatan kebesaran raja. Pada upacara-upacara kusus, seperti grebeg, sebenarnya semua pejabat raja dari seluruh bagian Negara harus dating. Kesemarakan dan kemuliaan yang dipamerkan pada upacara ini dan tentu saja tidak kurang pentingnya, besarnya jumlah pengunjung merupakan bukti nyata kebesaran dan kekuasaan raja.
Sudah jelas bahwa dalam pengabdiannya kepada raja, seorang priyayi, diharapkan agar tidak akan perna diorong oleh kepentingan-kepentinganpribadi atau kebutuhan akan uang, bginya mengabdi raja meruakan kehormatan besar dan ia akan selau siap mengorbankan miliknya atau bahkan nyawanya demi keselamatan Negara atau karena raja menghendakinya.
Priyayi setia pda pekerjaannya, keberaniaannya tak diragukan, bebas dari keinginan-keinginan untuk mencari kepentingan diri sendiri dalam pengabdiannya kepada raja (sepi ing pamrih, rame ing gawe). Tradisi jawa membagi kehidupan priyayi mejadi tiga tahap. Tahap pertama dari pertumbuannya (masa muda) ditandai oleh usaha mencoba-coba untuk mendapatkan pengalaman dan latihan lara-lapa (sakit dan lapar, penderitaan). Tahap yang kedua, ditandai dengan petanggung jaaban dan pelaksanaan kewajiban dan disertai juga ole usaha meraih kedudukan dan keagungan dalam dunia kebendaan. Kemudian tahap yang ketiga , setelah pengunduran diri, priyayi bersemadi untuk merenungkan apa yang menjadi tujuan hidup dan berusaha ngelmu (pengetahuan mistik), umunya mengalihkan dari dukia kebendaan menuju ke dunia.
· Hubungan Teknis Pemerintahan
Hubungan Lurah-Patuh (Tuan-Vasal) dalam Kerajaan
Dalam kesusastraan Mataram II mengenai perbedaan antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota, sepanjang berkaitan dengan pangkat, gelar, atau kehormatan, tidak terdapat perbedaan-perbedaan. Sekalipun demikian perbedaan pusat dan daerah didasarkan dan harus didasarkan atas perbedaan status politik antara kedua kelompok pejabat itu. Perbedan diadakan antara nagaragung (daerah besar) sebagai daerah pusat (inti atau dalam) dengan mancanegara (daerah sekitar atau daerah tetangga) dan pesisir sebagai daerah luar.
Meskipun seorang pejabat berkedudukan di ibukota, tugasnya tidak perlu terbatas pada kraton atau daerah-daerah dalam. Pejabat pejabat itu banyak yang berkuasa atas wilayah-wilayah atau mempunyai tugas diluar daerah inti, sebagai panglima pasukan pengawas pajak di derah pesisir atau penylenggara hubungan dengan dunia luar. Tetapi, tidak begitu banyak yang dapat diketahui tentang luasnya daerah kekuasaan pejabat yang berkedudukan di pusat. Misalnya tidak diketahui sejauh mana wewenang adipati (perdana menteri) di daerah dalam dan daerah luar.
Pejabat raja yang berkedudukan di daerah luar, jadi ada yang di luar Nagaragung, pasti lebih bebas bergerak, mereka kurang diawasi, semata mata kerena jauh dari kraton. Umumnya daerah-daerah luar ini berada dibawah pemerintahan kaum bangsawan setempat. Tugas pokok pegawai raja di daerah ialah memungut pajak yang dibayar tiap- tiap tahun untuk keuangan raja dan mengerahkan tenaga manusia untuk perang dan mengerjakan proyek pekerjaan umum seperti jalan dan saluran-saluran.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kewenangan para bupati, terdapat pula suatu kebijaksanaan lain yang berlaku khusus untuk daerah daerah yang kira-kira langsung di sebelah utara Mataram. Dalam pemerintahan di wilayah-wilayah pesisir ini, kraton melkukan banyak sekali campur tangan, mungkin karena daerah daerah di jalan ke pantai utara jawa merupakan pintu gerbang untuk hubungan politik dan ekonomi dengan luar negeri.
Dalam keadaan kepemerintahan tidak dapat diperoleh aturan yang tegas dan pasti tentang wewenang dan kekuasaan para pembesar yang memerintah kedua bagian penting dari kerajaan itu, sebab senantiasa ada pergeseran keadaan dan perimbangan kekuatan yang terus menerus berubah ubah. Hubungan-hubungan pribadi sangat penting bagi kerajaan di Jawa, sehingga seluruh perimbangan kekuatan tergantung pada pribadi dan hubungan antara penguasa-penguasa di ibukota dan penguasa-penguasa daerah atau antara sesame kaum bangsawan daerah itu sendiri.
Jabatan yang dapat berdiri sendiri da kekuasaan yang hampir tak terbatas dari bupati- bupati pada semua tingkatan pemerintahan menjadi susunan organisasi pemerintahan bersifat berulang. Patih adalah kepala pelaksana, pengawas, dan coordinator pelaksana fungsi departemen- departemen dalam kerajaan. Pejabat-pejabat penting di kraton dan bupati-bupati di daerah mempunyai patihan sendiri, adakalanya dua orang, seorang patih njero dan seorang atih njaba (patih dalam dan patih luar), meniru keadaan kraton raja dimana seorang patih bertugas mengaturrumah tangga kerajaan dan seurang lagi mengurus pemerintahan kerajaan.
Para pejabat nampaknya mempunyai otonomi penuh dalam hal pengangkatan pegawai bawahannya dan nampaknya juga dalam pembagian daerah-daerah yurisdiksi masing. Demang (kepala bebrapa desa) misalnya, diangkat oleh pejabat yang lungguhnya meliputi daerah demang itu.
Raja perlu seksama dan tiada henti-hentinya memperhatikan para priyayinya, apakah mereka berasal dari darahnya sendiri atau kaum bangsawan setempat di daerah-daerah luar yang tergabung dalam kerajaannya atau orang-orang biasa yang telah naik ke kelas priyayi. Dari kedelapan sifat ideal seorang raja, kemampuan untuk mengerti gerak gerik dan maksud-maksud yang terkandungdalam hati pejabatnya (mawas obah osiking bala), dianggap berasal dari Dewa Bayu. Sikap seperti itu tidak bertentangan dengan syarat bahwa raja harus sepenuhnya percaya kepada para pejabatnya, sebab kewaspadaan semacam itu terutama bermaksud untuk menemukan setiap keinginan yang kecil sekalipun untuk menentang kekuasaanya, dan sama sekali bukan untuk menekan wewenang para pejabatnya dalam bidangnya sendiri.
Untuk mempertahankan kekuasaanya atas para bawahannya, raja menggunakan tiga cara. Pertama, menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan- lawannya beserta keluarganya, ara yang sama sekali tidak jarang dilaksanakan. Cara yang kedua adalah dengan memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing masing. Dan cara yang ketiga ialah menjalin persekutuan melalui perkawinan.Tetapi kebiasaan dengan cara ini ialah agaknya lebih berlandas pada hak istimewa raja untuk mengambil istri menurut kemauannya sendiri daripada suatu niat murni untuk menjalin ikatan -ikatan kekeluargaan antara yang tinggi dengan yang rendah.
Hak mewarisi kedudukan ayah sudah dikenal dan ditetapkan sebagai kebiasaan pada abad-abad terakhir dari kerajaan Mataram, meskipun rupanya tidak ada jaminan mengenai batas luas wilayah kekuasaan maupun luas lungguh yang diterima sebagai pembayaran gaji atau jasa -jasanya kepada raja. Ini masih tetap menjadi hak istimewa raja ataupun kepala daerah. Bahkan seorang pangeran pun tidak dijamin akan mendapatkan lungguh (kedudukan).
Menurut sebuah laporan tentang keadaan di Surakarta pada pertengahantahun 1800-an warisan atas “kalungguhan” (dari lungguh) jatuh menurut aturan siapa yang harus didahulukan, kepada :
1. putra tertua, meskipun didahulukan putra dari istri pertama, kemudian baru putra – putranya yang lain.
2. putri tertua, yang akan diwakili oleh suaminya, untuk kepentingan putranya yang tertua kelak (apakah putri -putri yang lain mempunyai prioritas lebih dari kelompok berikut tidak jelas)
3. saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, kemenakan menurut garis keluarga ayah, saudara-saudara misan menurut garis keluarga ayah
Selain itu yang bisa mendapat kedudukan ialah orang yang lebih disukai pemerintah, yang berarti tingkah raja merupakan keputusan yang terakhir. Ini dapat berarti bahwa pada dasarnya jabatan-jabatan itu tidak bersifat turun temurun dank arena kedudukan kaum ningrat terutama dikaitkan dengan tugas-tugas dalam pemerintahan raja, keningratan pada dasarnya tidak pula herediter (bersifat turun temurun).
· Pembagian Wilayah kerajaan
Sejak zaman kuno ternyata orang jawa sudah menggunakan tempat tinggal raja sebagai nama Negara. Kita telah melihat bukti-bukti tentang pandangan yang berorientasi ke pusat dalam organisasi pemerintahan. Daerah inti boleh dikatan telah diatur secara lebih ketat melelui penggunaan system pembayaran gaji dengan lungguh, sedangkan daerah luar diatur dengan cara yang lebih longgar.
Kekuatan fisik Negara, khususnya resimen-resimen inti angkatan bersenjata, dipusatkan di ibu kota, pasukan pergi ke daerah-daerah untuk memamerkan kekuatannya, menaklukkan atau menumpas pemberontakan, tetapi kemudian selalu kembali lagi ke ibu kota.
Pertentangan antara ketiga jenis daerah bila dilihat dari kedudukan pusat juga memperlihatkan pandangan seperti ini. Dalam nagarakartagama kita temukan tiga wilayah pengaruh kekuasaan, yaitu Jawa, daerah-daerah dan pulau-pulau di luar Jawa termasuk bagian selatan Semenanjung Malaka, dan luar negeri, seperti Champa dan Kamboja. Dalam zaman kerajaan Mataram II ada tiga golongan, yaitu Negara (ibukota), negaragung (daerah inti), mancanegara (pesisir) yang termasuk daerah luar, kemudian tanah sabrang (tanah di seberang laut).
Perbedaan antara nagaragung dan mancanegara menunjukkan bahwa raja mempunyai tuntutan kewilayahan yang lebih kuat dalam bagian pertama wilayah kerajaan daripada dalam bagian yang kemudian.Batas-batas wilayah dikenal orang. Batas batas itu terdiri dari alur sungai, gunung-gunung dan barisan pegunungan Alat pemisah yang alami ini paling tepat untuk menjadi penunjuk patas. Keinginan untuk member tanda-tanda wilayah sebagai kesatuan politik yang tetapdan dengan demikian menghindari pertikaian hukum hampir tak pernah tercapai lantaran perimbangan kekuasaan yang seringkali berubah.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa raja mempunyai dua hak jenis tanah. Yang pertama, dapat disebut hak politik atau hak public sebab hak ini menetapkan batas-batas daerah yang boleh diatur, daerah tempat ia boleh menjalankan keadilan dan yang dipertahankannya dari serangan musuh. Yang kedua dan hak raja yang lebih berkenaan secara langsung dengan tanah adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat, dasar dari hak ini terdapat dalam adat kampong yang telah lama (paron) yaitu bagi hasil tanah menjadi setengah untuk penggarap dan setengah untukorang yang mempunyai hakhek memetik hasil, hak yang diterimanya dari desa yang menjadi pemilik tanah yang sebenarnya, siti dusun (tanah desa).
Meskipun raja memberikan hak kepada orang lain atas sebagian hasil tanah, ia menarik jumlah tertentu dari bagian ini untuk kepentingan dirinya sendiri dalam bentuk pajak. Dua jenis tanah penguasaan tidak dikenakan jenis pajak yang sama, yaitu narawita (daerah kuasa raja) dan tanah perdikan, yang telah disebut tempat lain.
Menganai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan juga sebagai sarana bagi pembiayaan tugas mereka, kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji). Lungguh merupakan daerah yang telah diserahkan dan yang menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan, tetapi raja tidak mempunyai hak atas tanah itu sendiri. Sedangkan tanah bengkok atau tanh gaji ialah sebidang tanh garapan dari sebgian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga, atau orang yang disenangi.
Bila kita tinjau kembali definisi lungguh, jelas bahwa lungguh itu disertai pula dengan hak hak atas wilayahnya, yang ternyata dari hak pemegang lungguh untuk mengangkat bekelnya sendiri sebagai wakilnya sebagai pemungut pajak. Bekel itu sebaliknya diberi sebuah lungguh yang kecil untuk tuannya. Dapat dianggap bahwa system lungguh sudah merupakan lembaga yang lebih tua daripada sitem bengkok, system yang belakangan lebih banyak mempunyai sifat cara pemberian gaji yang sederhana atas jasa-jasa yang telah diberikan, sedangkan pada lungguh masih ada tanda-tanda bekas hak-hak pemerintahan. Jadi sistem lungguh lebih sesuai dengan sifat pengulangan dalam istem knegaraan Jawa di zaman dulu.
C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja : Perpajakan dan Pengerahan Tenaga Pada Zaman Mataram II
a. Pajak dan Perpajakan
Sepanjang berabad-abad pemerintahan raja di Mataram ini sudah dilaksanakan hidup swasembada atau otonom yang sebenar-benarnya. Hampir setiap keperluan kerajaan memerlukan biaya dan kerajaan mempunyai sumber pendapatannya sendiri. Dengan sumberpendapatan inilah negara harus berusaha untuk sedapat mungkin menutupi biaya pengeluaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam negarayang ekonominya didasarkan pada desa-desa agraris, maka sebagian besar pungutan dari rakyatnya dalam bentuk barang maupun tenaga untuk kerja. Kota-ota pelabuhan juga dianggap penting sebagai sumber pendapatan kerajaan, dengan memberlakukan bea cukai. Tetapi walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai, namun untuk dapat berjalan dengan baik kerajaan sebagai suatu organisasi institusional, pertama-tama dan terutama harus mengandalkan para petani yang dapat memberikan tenaga untuk melakukan peekerjaan memelihara dan menopang kerajaan mulai dari pekerjann memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang-barang, sampai dengan berperang sebagai tentara kerajaan.
b. Pengerahan Tenaga
Pentingnya pungutan pajak dalam bentuk hasil bumi dan kemudian dalam bentuk uang untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, tidak dapat menandingi pentingnya penggunaan dan pengerahan tenaga manusia untuk menjamin kelancaran hidup negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa :
1. Perpajakan dan sistem pengerahan tenaga, mengikuti sifat garis organisasi pemerintah, boleh dikatakan sederhana dan dapat disebut pembiayaan ad hoc atau contingent.
2. Sumber kekayaan negara yang terpenting adalah perdagangan dan perniagaan, tetapi setelah perdagangan macet sama sekali akibat persaingan dari pihak Belanda, maka petanilah yang harus menggantikan sehingga sistem pengumpulan harta kekayaan menjadi sangat berat.
3. Pengerahan tenaga rakyat merupakan faktor ekonomi yang terpenting untuk kelancaran hidup negara
Kesimpulan
Pada zaman Jawa Kuno raja disamasuaikan dengan dewa atau paling kurang setelah masuknya agama Islam dipandang sebagai perantara antara manusiadengan Tuhan. Karena kekuasaannya mutlak, menyeluruh dan tidak terbatas. Kepadanya rakyat harus tunduk dan patuh tanpa suatu syarat apa pun. Namun raja juga dituntut untuk berlaku adil, bijaksana dan dermawan serta mampu menjagaketertiban dan ketentraman negara. Struktur pemerintahannya sangat sederhana. Para bupati, yang merupakan perpanjangan kekuasaannya, memiliki kedudukan yang otonom serta aparatur pemerintahan yang lengkap, sama seperti di pusat kerajaan. Akibatnya kedudukan raja selalu rapuh, terbuka bagi setiap usaha pemberontakan guna merebut kekuasaan. Sistem pembiayaan negara pun sederhana pula, yaitu terutama melalui pengerahan tenaga rakyat di samping pemungutan bea, pajak, dan upeti.
Sumber :
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
0 Response to "Sejarah Lokal"
Posting Komentar