sejarah sebagai seni

MENGAJAR SEJARAH DENGAN SENI:
Apakah Mengingkari Hakikat Sejarah Sebagai Ilmu?
 
Pada suatu ketika penulis berdiskusi tentang cara mengajar sejarah dengan seorang guru SMP. Dia menanyakan, bagaimana kalau dalam mengajar sejarah kita memberikan tugas membuat cerpen, komik, karikatur, atau karya seni lainnya? Apakah kita mengingkari hakikat ilmu sejarah? Penulis kemudian  balik bertanya. Apa yang membedakan secara hakikat antara ilmu dan seni? Guru sejarah tadi melanjutkan bahwa ilmu itu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan logika, sedangkan seni merupakan hasil filsafat pengetahuan estetika. Di samping keduanya terdapat etika yang menyimpulkan baik dan buruk.  Logika aka menilai benar dan salah yang tercermin dalam ilmuwan, sedangkan estetika akan menghasilkan nilai indah dan jelek yang melahirkan seniman.
Logika akan Lalu dari mana asalnya filsafat estetika dan filsafat ilmu tersebut? Akarnya adalah dari filsafat itu sendiri. Sedangkan filsafat itu sendiri artinya adalah cinta pada kebijaksanaan. Kata lain dari filsafat adalah hakikat atau hikmah hikmah (Syafiie, 2004:2). Artinya bukan pada hal yang hakiki lagi manakala kita masih harus berfikir dengan membuat sekat-sekat antara ilmu, seni, maupun moral. Ketiganya adalah integral, toh pada akhirnya, setinggi apapun kita kuliah, gelar tertinggi kita adalah Ph.D, atau doktor filsafat.
Sejarah itu ilmu dan seni
Berawal dari diskusi di atas, kemudian kita perlu menelaah kondisi pembelajaran sejarah saat ini. Barangkali bahwa sejarah itu sebagai ilmu dan seni tidak perlu kita ributkan lagi. Toh Kuntowijoyo sang begawan sejarah juga seorang pandit seniman. Demikian halnya Syafii Maarif yang seorang sejarawan maupun tokoh gerakan moral, ternyata juga pandai bersastra. Bahwa sejarah sebagai ilmu sudah jelas dasarnya,  karena sejarah itu empiris,  mempunyai objek, mempunyai teori, dan ada generalisasi. Sedangkan sejarah dikatakan seni karena sejarah perlu intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.

Justru dari sinilah sebenarnya kita bisa membuat improvisasi pembelajaran sejarah yang selama ini terkesan kering dan membosankan. Tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga guru-guru yang kreatif, tetapi bisa kita hitung dengan jari. Dengan demikian, bahwa mendekatkan seni dalam pembelajaran sejarah sebenarnya sesuatu yang hukumnya wajib. Apa dasarnya? Pertama,  bahwa mengajar dalam konsep yang lebih luas adalah mendidik. Mendidik itu adalah ilmu dan seni, jadi kalau mendidik tanpa seni, dipastikan guru tersebut tak bakal berhasil. Kedua, belajar melalui seni akan lebih baik bagi pengembangan otak anak. Mengapa? Sebab selama ini pembelajaran sejarah pada anak-anak kita terpaku menggunakan otak kiri seperti menghapal, mendefinisikan, dan sebaganya. Otak kanan mereka seperti dalam berimajinasi, berimprovisasi, lebih banyak diistirahatkan dari pada dioptimalkan. Kesan sebagian masyarakat selama ini adalah bahwa pengembangan IQ itu yang terpenting.  Padahal menurut berbagai survei bahwa EQ itulah yang paling besar peranannya dalam mengantar keberhasilan individu. Melalui latihan seni itulah kita bisa mengembangkan EQ. Ketiga,  seni itu menyenangkan, sebab filsafat estetika itu akan menghasilkan kesimpulan indah dan jelek, dan pasti seni yang kita nikmati adalah yang indah. Sementara keindahan akan menunculkan kesenangan, dan kesenangan akan menyebabkan siswa betah belajar sejarah.
Bagaimana menggunakan seni dalam pembelajaran sejarah?
Tentu pertanyaan ini bisa tindih tumpang, sebab dalam unsur pembelajaran sejarah itu ada pendidik. Sementara mendidik itu adalah ilmu dan seni. Perlukah kita memilahnya? Tentu saja kita tidak bisa membuat garis pembatas yang tegas, tetapi bisa ditentukan kecenderungan salah satu dari ketiganya.  Bahwa ilmu dan seni  mendidik pasti sudah dikuasai calon guru dari dasar-dasar pendidikan dan strategi pembelajaran, sedangkan ilmu sejarah itu hanya dipelajari secara intensif calon guru sejarah. Tugas guru sejarahlah yang mengintegrasikan kompetensi keilmuan sejarah dan penguasaan seni untuk mengajar sejarah dalam proses pendidikan.
Untuk itu, perlu dilakukan beberapa inovasi pembelajaran sejarah menggunakan seni dengan beberapa cara. Pertama, mengembangkan model pembelajaran yang memasukkan kemampuan guru di bidang seni dalam mengajar di depan kelas. Hal ini tentu yang paling mudah dilakukan guru. Kemampuan menguasai kelas dalam arti luas merupakan salah satu bukti bahwa guru tersebut mempunyai jiwa seni yang tinggi. Identifikasi saja bagaimana kita menyukai seorang guru atau dosen, pasti yang utama karena gaya mereka menyampaikan atau berinteraksi dalam pembelajaran. Kedua, menggali bakan dan minat siswa dalam hal seni untuk strategi pembelajaran sejarah. Setia manusia pada hakekatnya mempunyai kecerdasan emosional (EQ). Pembelajaran sejarah dapat mewujudkan ekspresi siswa melalui kemampuan mereka dalam seni. Peserta didik sifatnya heterogen dan unik. Pengajar perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi dalam hal seni untuk pembelajaran sejarah. Contohnya dengan model-model pembelajaran role playing, membuat karya sastra dan seni sejarah (puisi, cerpen, novel, kartun, komik, dan sebagainya). Ada yang khawatir bahwa cara ini akan menjauhkan sejarah dari disiplin ilmu. Sebenarnya itu bukan alasan yang mendasar. Guna ekstrinsik sejarah sebagai alat pendidikan  moral dan seni seperti dikatakan Kuntowijoyo justru mendukung model ini. Ketiga, penggunaan media karya seni dalam pembelajaran sejarah. Diakui bahwa hal ini masih minim dilakukan para guru sejarah. Pembelajaran kita masih kering dengan hal-hal yang berbau media. Proses pembelajaran masih terfokus pada interaksi verbalis yang mengedepankan definisi dan kata. Padahal peran media dalam proses pembelajaran sangat besar. Alasan minimnya para guru sejarah dalam menggunakan media sangat klasik, yakni minimnya fasilitas yang dimiliki sekolah. Sebenarnya hal ini dapat disiasati dengan upaya memanfaatkan fasilitas yang dimiliki hampir setiap keluarga. VCD sudah bukan barang asing di masyarakat. Tetapi pengajaran sejarah menggunakan fasilitas ini masih dapat dihitung dengan jari. Memang ketika membuat media ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tetapi bukankah penggunaan dan manfaatnya akan menekan waktu dan biaya berlipat-lipat? Sebagai contoh apabila kita membuat media pembelajaran dengan topik sekitar proklamasi kemerdekaan. Bahan ajar topik tersebut dapat dibuat dengan program macro flash.  Guru tidak perlu menjelaskan tentang topik tersebut secara panjang lebar. Ia dapat menyajikan bahan ajar lengkap dengan  suara, gambar, tulisan yang divisualisasikan. Siswa dapat mempelajari secara berkelompok maupun individu, di rumah atau di sekolah. Mereka dapat menggunakan komputer dan televisi yang relatif telah memasyarakat.
Tiga cara yang disebutkan di atas dapat dikembangkan secara lebih luas menyesuaikan kemampuan dan sarana yang tersedia. Penggunaan electronic learning  dapat dikembangkan dalam bentuk web site yang bisa diakses siswa di manapun dan kapanpun. Bukankah hasil pembatan media yang telah dilakukan guru telah memperkaya bahan ajar guru seluruh Indonesia, bahkan dunia? Coba dihitung seandainya ada 1000 guru yang mebuat bahan ajar dengan media! Semuanya di-upload  di internet. Atau setidaknya digandakan dalam VCD. Kita yakin, bahwa pembelajaran sejarah yang mengedepankan oral atau ceramah di kelas akan berkurang drastis. Guru tinggal mengajak tanya jawab dan diskusi dengan siswa di kelas. Komunikasi antar gurupun akan menjadi intensif. Guru yang ada di Papua memberikan contoh objek sejarah di Papua, demikian halnya yang di Aceh atau Yogya. Ini benar-benar akan menjadikan pembelajaran sejarah penuh makna dan variatif.  Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bahwa guru kurang waktu dalam mengajar sejarah. Hal ini dapat dilakukan kalau guru mempunyai paradigma bahwa pusat pembelajaran adalah siswa, bukan guru!
Kesimpulan
Sejarah adalah ilmu dan seni, tidak perlu malu mengakui dan khawatir bahwa sejarah akan banci. Dalam penerapan pembelajaran sejarah, kita perlu mengkomunikasikan kedua makna sejarah tersebut. Sebagai guru sejarah, tentu kita tidak memfokuskan dalam pengajaran seni. Tetapi dengan  melihat unsur-unsur seni yang ada dalam sejarah, guru dapat menerapkan pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan seni.  Cara-cara yang ditempuh beragam melalui berbagai model dan metode pembelajaran. Tidak ada model yang paling cocok dan baik. Semua mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gurulah sebagai fasilitator pembelajaran yang bertanggungjawab penggunaa model, metode, dan media apa yang paling tepat untuk pembelajaran.

DAFTAR BACAAN
Gunning, Denis. (1974). The Teaching of History. London : Croom Helm
Gottschlak, Louis (1986). Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho N. Jakarta: UI Press
Hemmelfarb Gertrude (1987). The New History and Old. London: Harvard University Press
Kuntowijoyo (1995).Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang
Bruce, Joyce and Marsha Weil (1996). Model of Teaching. London: Allyn and Bacon

0 Response to "sejarah sebagai seni"

Posting Komentar